Jumat, 29 Agustus 2008

Hadis Ahad

BAB I
PENDAHULUAN

Hadis, menurut ulama’ Hanafiyah, dibedakan menjadi tiga, yaitu: Mutawatir, Mashhur, dan Ahad. Sedangkan menurut ulama’ selain Hanafiyah, memasukkan hadis Mashhur sebagai kategori hadis ahad. Dengan demikian, mereka mengklasifikasikan hadis menjadi dua bagian saja, yaitu hadis mutawatir dan ahad .
Hadis mutawatir merupakan hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah (kumpulan banyak) orang sehingga dinyatakan menurut ‘adat tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta. Setiap hadis mutawatir adalah maqbul dan tidak memerlukan penyelidikan mengenai para rawynya.Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan untuk meyakini dan membenarkan sesuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir seperti halnya ia menyaksikan sendiri secara langsung .
Sementara itu, hadis ahad merupakan hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat mutawatir. Berbeda dengan hadis Mutawatir yang diyakini kebenaran dan kehujjahannya, hadis ahad hanya mendatangkan pengetahuan yang bersifat dugaan (zanny). Jadi, bagaimanakah kehujjahan hadis ahad tersebut?
Atas dasar uraian tersebut dalam makalah ini akan dibahas mengenai hadis ahad dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian hadis ahad?
2. Bagaimanakah klasifikasi hadis ahad?
3. Bagaimanakah kehujjahan hadis ahad?







BAB II
PEMBAHASAN
HADIS AHAD
A. Pengertian Hadis Ahad
Secara etimologi kata al-ahad adalah bentuk jamak dari kata ahad yang berarti satu. Jadi, khabar al-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Dalam segi terminologi hadis ahad adalah adalah hadis yang diriwayatkan oleh beberapa orang rawy dan belum mencapai bilangan mutawatir pada tabaqat (lapisan atau tingkatan) sahabat, tabi’in atau tabi’ al tabi’in dan lainya. Dikatakan juga mengenai pengertiannya yaitu hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir baik perawynya adalah seorang saja atau lebih dari satu.
Tidak jauh berbeda dengan pengertian diatas, Muhammad bin Muhammad Abu Shahbah, mendefinisikan hadis ahad sebagai hadis yang didalamnya tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir meliputi hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawy dalam suatu tabaqat atau dalam keseluruhan tabaqat, dan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawy atau tiga rawy atau lebih yang tidak sampai pada jumlah perawy dalam tingkatan mutawatir.
B. Klasifikasi Hadis Ahad
Hadis ahad dari segi banyak sedikitnya para rawy yang meriwayatkan dibedakan menjadi tiga, yaitu: Mashhur, aziz, dan gharib.
1. Mashhur
Hadis mashhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir. Sebagian ulama’ fikih menamakan hadis mashhur dengan hadis mustafid dan sebagian lainnya membedakan antara keduanya (mashhur dan mustafid). Menurut mereka hadis mustafid adalah hadis yang jumlah para perawynya seimbang atau sama di setiap tabaqat baik di awal, di tengah, atau di akhir tabaqat. Sedangkan mashhur adalah hadis yang jumlah perawynya tidak kurang dari tiga orang dan belum sampai pada derajat mutawatir, baik jumlah perawynya sama dalam setiap tabaqat atau tidak. Karena itu hadis mashhur dipandang lebih umum dari pada mustafid.
Hadis mashhur adakalanya sahih, hasan dan da’if. Didasarkan pada kategori sifat yang dimiliki para perawynya. Contoh hadis mashhur sahih, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim;

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, danTirmidhi).

Contoh hadis ahad hasan;

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim”
Contoh hadis da’if;

“Kedua telinga itu bagian dari kepala”
Istilah Mashhur terkadang diterapkan pada suatu hadis, menurut ketetapan yang bukan semestinya, yakni banyaknya rawy yang meriwatkannya. Akan tetapi, diterapkam pada suatu hadis yang mempunyai ketenaran dikalangan para ahli ilmu tertentu. Misalnya hadis yang mashhur di kalangan ahli hadis seperti hadis yang diriwayatkan Bukhary Muslim;


”Bahwasannya Rasulullah SAW pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis yang mashhur di kalangan usuliyyun (ahli usul fiqh):

”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan, kelupaan dan yang dipaksakan kepadanya” (HR. Al-hakim dan Ibnu Hibban).
Hadis yang mashhur dikalangan ahli fikih;

”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim).
Terdapat juga hadis yang mashhur di kalangan masyarakat yang bahkan meliputi hadis yang perawynya kurang dari tiga orang atau tidak berasal sama sekali, seperti hadis dibawah ini;

“Para ulama dari ummatku seperti para nabinya bani Isra’il”
2. Hadis ‘Aziz
Hadis ‘aziz adalah hadis yang jumlah rawynya tidak kurang dari dua orang. Contoh hadis ‘aziz yaitu hadis riwayat Bukhary-Muslim di bawah ini;


”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari kalangan sahabat hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan Abu Hurairah. Dari Anas diriwayatkan oleh dua orang yaitu Qatadah dan Abd al-‘Aziz bin Suhayb. Dari Qatadah diriwayatkan oleh dua orang yaitu Sha’bah dan sa’id. Dari abd al-‘Aziz bin Suhayb oleh dua orang yaitu Isma’il bin ‘Ulayyah dan Abd al-Warith. Selanjutnya dari masing-masing perawy tersebut diriwayatkan oleh orang banyak.
3. Hadis Gharib
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawy saja dalam keseluruhan tabaqat atau sebagiannya. Hadis gharib dibagi menjadi dua yaitu Gharib Mutlaq dan Gharib Nisby.
Gharib Mutlaq yaitu apabila kesendirian rawy dalam meriwayatkan hadis terdapat pada asl al-sanad, yaitu sahabat . Misalnya hadis riwayat Bukhary Muslim;

”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).


Hadis ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin al-Khattab, lalu darinya hadis ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawy melalui Yahya bin Sa’id.



Dalam hadis di atas Abu Salih meriwayatkan dari Abu Hurairah saja. Dari Abu Salih diriwayatkan oleh Abd bin Dinar saja.
Gharib Nisby Yaitu apabila penyendirian tawi dalam meriwayatkan hadis terdpat di pertengahan sanad. Misalnya: Hadis Malik, dari al-Zuhry (Ibnu Shihab), dari Anas ra.:


”Bahwa Nabi saw. masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya”” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri.

C. Kehujjahan dan Kewajiban Mengamalkan Hadis Ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis sahih, lagi mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan karena itu wajib bagi seseorang untuk mengamalkannya dan dihukumi kufur orang yang mengingkarinya. Dalam hal ini tidak terdapat pertentangan dikalangan ulama’. Sebaliknya hadis ahad diperselisihkan mengenai kehujjahan dan kewajiban mengamalkannya. Mayoritas sahabat dan tabi’in serta kaum muslimin lainnya sepakat bahwa hadis ahad dapat dijadikan hujjah dan wajib mengamalkannya meski ia membuahkan dugaan (Yufid al-zan). Hadis ahad yang sahih (baik yang mashhur, ‘aziz dan gharib), diperselisihlan dikalangan ulama’ apakah ia berfaidah pengetahuan yang mendatangkan keyakianan atau hanya mendatangkan pengetahuan yang bersifat dugaan. Akan tetapi mereka sepakat mengenai kewajiban untuk mengamalaknnya. Segolongan ulama’ berpendapat bahwa hadis ahad apabila sahih maka berfaidah ilmu dan amal secara bersamaan karenanya wajib untuk diamalkan. Sedangkan sebagian ulama’ yang lain memandang hadis ahad yang sahih berfaedah zan (dugaan) karena perawinya lebih sedikit dari pada hadis mutawatir. Meskipun begitu tetap dihukumi wajib untuk mengamalkannya.
Muhammad Al-Ghazaly , mengemukakan bahwa hadis ahad mendatangkan pengetahuan yang bersifat dugaan (zanny) dan bahwa ia merupakan dalil untuk suatu hukum syar’iy sepanjang tidak adanya dalil yang lebih kuat darinya. Lebih lanjut menurutnya bahwa pernyataan hadis ahad mendatangkan keyakinan seperti halnya hadis mutawatir merupakan pernyataan yang berlebih-lebihan dan ditolak secara akal maupun naqal (yakni hasil pemikiran atau penukilan dari dalil-dalil syar’iy).
Atas dasar tersebut di atas, baik hadis ahad yang sahih berfaedah pengetahuan yang mendatangkan keyakinan atau dugaan, para ulama’ sepakat mengenai kewajiban untuk mengamalkannya selagi tidak ditemukan dalil yang lebih kuat yang bertentangan dengan hadis ahad tersebut. Apabila ditemukan dalil yang lebih kuat yang berlawanan dengan hadis ahad, maka hadis ahad tersebut dianggap mempunyai ‘ilat (cacat) dan berlakulah hukum Mansukh.
Disamping golongan yang mewajibkan pelaksanaan hadis ahad diatas, terdapat juga golongan yang menentang kewajiban melaksanakan hadis ahad dan kehujjahannya yaitu sebagian golongan mu’tazilah, Rawafid, qadariyah dan lainnya. alasan mereka antara lain sebagai berikut;
a. mereka berpendapat bahwa mengamalkan hadis ahad adalah bersifat zanny al-thubut (diragukan periwayatannya), kemudian mereka mengemukakan firman Allah yang berbunyi;

“......Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”

b. Mereka menyatakan bahwa sebagian sahabat tidak mengamalkan hadis ahad.
c. Para sahabat tidak melaksanakan hadis ahad hingga mereka mempu menunjukkan saksi atau mau melakukan sumpah.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hadis ahad adalah hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Hadis Ahad dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: mashhur, ‘aziz, dan gharib. Menurut Jumhur al-Muslimin yang terdiri dari para sahabat, tabi’in dan lainnya sepakat bahwa hadis ahad adalah hujjah dan wajib di amalkan meski ia membuahkan dugaan (yufid al-zan).








DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Attar, Abd al-Nasir Taufiq. ‘Ulum al-Sunnah wa Dustur li al-Ummah. Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby’ tt.
Abu Shahbah, Muhammad bin Muhammad. Al-Wasit fy ‘Ulum wa Mustalah al-Hadith. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt.
Dawud, Ahmad Muhammad ‘Aly. ‘Ulum al-Qur’an wa al-Hadith. ‘Amman: Dar al-Bashir, tt.
Hasyim, Ahmad Umar. Qawa’id usul al-Hadith. Beirut: Dar al Kitab al-‘Araby, 1984.
Al-Ghazaly, Muhammad. Al-Sunnah al-Nabawiyah; bayna ahl al- hadith wa ahlal-fiqh. Penerjemah; Muhammad al-Baqir. Bandung, Mizan, 1994.
Al-Khatib, Muhammad ajjaj. Usul al-Hadith; ‘Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Tihhan, Mahmud. Taysir Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Senin, 18 Agustus 2008

Ijmak dalam Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perumusan hukum Islam, dikenal adanya istilah sumber dan dalil. Kata sumber dalam hukum fikih adalah terjemahan dari lafaz{ "mas}dar" (مصدر), jamaknya adalah mas}adir (مصادر). Pada literatur kontemporer dikenal pula istilah dalil sebagai ganti dari kata mas}dar.
Ada anggapan bahwa kedua kata terebut adalah sinonim, akan tetapi bila dilihat dari pengertian etimologis, maka akan terlihat bahwa kedua kata tersebut tidaklah sinonim. Terutama ketika dihubungkan dengan kata "shari'ah ”. kata sumber (مصدر), dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah tersebut dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan kata dalil hukum berarti suatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah .
Dengan demikian kata sumber dalam artian ini, dapat digunakan untuk al-Qur'an dan al-Sunnah, karena memang keduanya adalah wadah yang dapat ditimba darinya hukum-hukum shara'. Akan tetapi, tidak dapat digunakan untuk ijma' dan qiyas, karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma' dan qiyas itu, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum. Sementara itu kata dalil dapat digunakan untuk al-Qur'an dan al-Sunnah, juga dapat digunakan untuk ijma' dan qiyas, karena semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah .
Ijma' sebagai dalil hukum inilah yang akan menjadi topik pembahasan dalam makalah ini. Ijma' sebagai dalil hukum, menuai pro dan kontra di kalangan ulama'. Sebagian berpendapat bahwa ijma' harus dilakukan oleh seluruh mujtahid di dunia, dan bahkan ada pendapat bahwa keikutsertaan orang awam juga diperhitungkan dalam pembahasan ijma'. Sementara itu, hal tersebut tidaklah mungkin terjadi khususnya dalam masa seperti sekarang. Perdebatan itu terus berkembang sampai pada; apakah kesepakatan mayoritas dapat dikatakan sebagai ijma'. Untuk lebih jelasnya mengenai ijma' ini, kami ulas pembahsannya dalam bab 2.
BAB II
PEMBAHASAN
IJMA'

A. Pengertian Ijma'
Secara etimologi, ijma' mengandung dua arti:
1. Ijma' dengan arti العزم علي الشيء atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah SWT;
فاجمعوا امركم وشركاءكم
…, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)…

2. Ijma ' dengan arti kesepakatan.
فلما ذهبوا به واجمعوا ان يجعلوه في غيابة الجب
"Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur."

Pengertian yang kedua ini juga membutuhkan ketetapan hati juga. Perbedaannya terletak pada kuantitas orang yang berketapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sementara pengertian yang kedua memerlukan tekad atau ketetapan hati kelompok .
Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian ijma'. Menurut al- Naz}z}am, ijma' adalah setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapan dibantah. Imam Ghazaly, merrumuskan ijma' dengan "kesepakatan umat Muhammmad secara khusus mengenai urusan agama." Rumusan ini berarti bahwa ijma' harus dilakukan oleh umat Muhammad saw (umat Islam) secara keseluruhan termasuk orang awam. Al- Ghazaly juga tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma' harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, ijma' tidak diperlukan, sebab keberadaan Nabi adalah sebagai sumber tashri' secara langsung dan tidak memerlukan ijma' .
Abu Zahrah mengartikan bahwa ijma' dengan kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah, terhadap suatu hukum syara' yang bersifat 'amaliyah. Dengan demikian pengertian hanya dibatasi berkaitan dengan persoalan-persoalan furu' (amaliyah praktis).
Berbeda dengan pendapat di atas, al-Amidy merumuskan ijma' dengan "kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-'aqdi dari umat Muhamad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa atau kasus". Berdasarkan rumusan ini hal ini menunjukkan bahwa yang terlibat dalam ijma' tidak semua orang melainkan orang-orang tertentu yang bertanggung jawab langsung terhadap umat. Oleh sebab itu orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma'.

B. Kehujjahan Ijma'
Jumhur ulama us}ul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma' telah terpenuhi, maka ijma' tersebut menjadi hujjah yang qat}'iy (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu permasalahan yang ditetapkan hukumnya melalui ijma', menurut para ahli us}ul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama' generasi berikutnya. Karena hukum yang ditetapkan ijma' merupakan hukum qat{'iy dan menempati urutan ketiga sebagai dalil shara' setelah al-Qur'an dan al-Sunnah.
Lebih lanjut lagi disebutkan ijma' adalah hujjah yang mendatangkan ilmu serta di-shari'at-kan sebagai kemulyaan bagi Ummat Nabi Muhammad. Mereka yang menentangnya dianggap sama seperti menentang Rasulullah saw., dan berhak atas neraka.
Dasar ketetapan ijma' menurut Jumhur ulama adalah sebagai berikut ;
1. Firman Allah SWT;
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا (النساء: 115)
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali".

Berdasarkan ayat ini, diharamkan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Karena orang yang melakukannya berarti menentang allah dan Rasul-Nya serta akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.
2. Hadis Nabi saw.;
لاتجتمع امتي علي ضلالة
"Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan"
ماراءه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"Apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai baik maka menurut Allah Swt. itu juga baik".

Berbeda dengan pendapat di atas, yaitu pendapat Ibrahim Ibn Siyar al-Naz}z}am, ulama' Khawarij dan juga ulama Shi'ah. Ia berpendapat bahwa ijma' tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.. karena menurutnya ijma' yang digambarkan oleh jumhur ulama' tidaklah mungkin dapat dilakasanakan, mengingat kretentuan ijma' menurut Jumhur adalah menghadirkan seluruh ulama' pada suatu masa di berbagai belahan dunia Islam untuk berkumpul. Padahal yang demikian itu adalah mustahil untuk dilaksanakan. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai struktur sosial, dan budaya yang berbeda.
Sebagian lain yang berpendapat bahwa mengingkari ijma' tidaklah dianggap kafir beralasan karena pada dasarnya dalil kehujjahan ijma' tidaklah qat}'i melainkan z}anny, sehingga tidak mendatangkan faidah ilmu.atas dasar itu, pengingkaran terhadap yang z}anny tidaklah dapat dikatakan sebagai kufur.
Ada ulama lain yang memberi batasan bahwa apabila hukum ijma' tersebut menyangkut kepentingan agama (d}aruriyyat al-din), maka mengingkarinya berarti kufur. Akan tetapi, sebaliknya, jika tidak berkenaan dengan masalah agama di atas maka tidak termasuk kufur .

C. Rukun Ijma'
Jumhur ulama' Mengemukakanbahwa rukun ijma' itu ada lima, yaitu:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum melalui ijma' tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya sedikit, maka hukum itu tidak dinamakan hukum ijma'.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya.
4. kesepakatan itu ditampakkan dengan mengemukakan pendapat baik dengan perkataan atau perbuatan. Adapaun apabila sebagian mujtahid mengemukakan pendapatnya sedangkan para mujtahid yang lain diam (ijma' sukuty), maka dalam hal ini masih diperselisihkan di kalangan para ulama' Us{ul.
5. Kesepakatan dihasilkan secara seketika, yaitu pada waktu berkumpulnya para mujtahid dan tidak di majlis yang berbeda-beda.
Disamping kelima rukun di atas, Jumhur ulama us}ul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma' sebagai berikut;
a. Mereka yang melakukan ijma' adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil.
c. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid'ah.
Ketiga syarat itu disepakati oleh seluruh ulama us}u.l fikih. Ada juga syarat lain yang tidak disepakati para ulama, di antaranya; Para mujtahid itu adalah sahabat nabi, mujtahid itu kerabat Rasulullah, mujtahid itu adalah ulama' Madinah, hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya dan tidak ada hukum ijma' sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama .

D. Tingkatan Ijma'
Dilihat dari terjadinya kesepakatan terhadap hukum shara' itu, para ulama us}ul fiqh membagi ijma' kepada dua bentuk yaitu sebagai berikut:
1. Ijma' S}arih}, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa atau kejadian.
Ijma' seperti ini merupakan ijma' yang dijadikan hujjah dan mempunyai ketetapan qat'}iy menurut kesepakatan para jumhur fukaha'. Baik mereka yang berpendapat bahwa ijma' dapat dilakukan dan terjadi di setiap masa atau mereka yang berpendapat bahwa ijma' hanya dapat terjadi di masa S}ahabat nabi saja .
2. Ijma' Sukuty, yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatnya tentang suatu hukum masalah dalam masa tertentu, sedang sebagian mujtahid yang lain tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai persetujuannya atau perbedaan pendapatnya.
Mengenai ijma' ini, para ulama masih berbeda pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa ijma' sukuty tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Sebagian mengemukakan bahwa ia adalah ijma' akan tetapi kekuatannya lebih rendah dan berada di bawah derajat ijma' s}arih. Kemudian pendapat yang lain mengemukakan bahwa ijma' sukuty }dapat dijadikan sebagai hujjah tetapi bukan suatu ijma'.
Adapun mengenai kedudukan ijma' sukuty, berikut ini pendapat beberapa ulama ;
a. Imam Shafi'iy dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma' sukuty itu bukan ijma' yang dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai ketetapan hukum yang mengikat.dengan demikian dapat dimengerti bahwa ijma' sukuty tidak dapat dijadikan hujjah. Termasuk yang berpendapat seperti ini adalah ulama Malikiyah dan Abu Bakar al-Baqillany.
b. Imam Ahmad Ibn Hanbal, kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagian ulama Shafi'iyah dan al-Jubba'iy (ulama Mu'tazilah) berpendapat bahwa ijma' sukuty adalah ijma' yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai hujjah. Di antara kelompok ini ada yang mensyaratkan telah berlalunya masapenyampaian pendapat itu dan semua ulama mujtahid pada masa itu telah meninggal serta tidak ada pendapat yang menyanggah hasil ijma' tersebut .
c. Sebagian ulama lain, diantaranya Abu Hashim, berpendapat bahwa ijma' sukuty itu bukanlah ijma'. Tetapi meskipun demikian ia dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
d. Aby 'Aly Ibn Aby Hurairah (ulama Syafi'iyah) berpendapat bahwa pendapat yang tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau penetapan putusan hukum dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang menyanggahnya, maka diamnya ulama itu tidak dapat disebut ijma'. Tetapi bila hasil ijtihad itu disampaikan dengan lisan atau fatwa yang disebarluaskan dan ternyata tidak ada ulama lain yang menyampaikan sanggahan atau dukungannya, maka diamnya ulama itu dapat disebut ijma'.
Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan alasan ulama yang mengatakan bahwa ijma' sukuty adalah ijma' yang dapat dijadikan hujjah ;
1). Diamnya para ulama setelah mngetahui suatu hukum hasil ijtihad yang dikemukakan seorang mujtahid adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dari berbagai segi. Adalah kewajiban para ulama untuk mempelajari ijtihad ulama lain yang diungkapkan di zaman mereka. Apabila seorang ulama mengemukakan dan menyebarluaskan hasil ijtihadnya dalam suatu kasus, sementara itu ulama lain setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu-diam saja, maka hal itu menunjukkan persetujuannya. Karena, para ulama us}ul fiqh sepakat menyatakan:
السُّكوتُ في مَوْضعِ البيَانِ بيانٌ
"Diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan".
2). Adalah tidak dapat diterima (tidak layak) jika para ahl fatwa diam saja ketika mendengar adanya fatwa ulama lain. Karena sesuai dengan kebiasaan di lingkungan para ulama fatwa, yaitu jika ada seorang ulama mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu kasus, maka para ulama lain harus menanggapinya jika fatwa itu dianggap tidak benar. Karenanya apabila ulama itu diam saja, maka sikap diam ter\sebut dianggap sebagai pertanda setuju. Di samping itu, apabila para ulama lain yang tidak mengeluarkan fatwa hukum menganggap fatwa itu menyimpang dari nas}s} atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama, lalu mereka diam saja, maka mereka berdosa. Sehingga merupakan kewajiban bagi merka untuk mempoelajari, menganalisa dan membantah suatu fatwa bila ternyata fatwa itu dianggap menyimpang dan salah.
Sementara itu dasar atau alasan ulama yang berpendapat bahwa ijma' sukuty bukan lah ijma' tetapi dapat dijadikan hujjah, adalah karena pada hakikatnya ia bukanlah ijma' karena di dalamnya tidak terkumpul syarat-syarat ijma'. Akan tetapi dianggap sebagai hujjah karena lebih kuatnyaatau keunggulan mereka yang sepakat dari pada yang tidak sepakat.

E. Sandaran Ijma'
Sandaran ijma' adalah dalil yang menjadi pegangan para mujtahid untuk menetapkan apa yang mereka sepakati. Menurut jumhur ulama ijma' harus mempunyai landasan hukum dari nas}s} atau qiyas. karena mengemukakan suatu fatwa tanpa sandaran adalah salah (الخطاء), pasalnya pendapat tersebut dikemukakan tanpa suatu ilmu. Meskipun demikian, di kalangan ulama sendiri trdapat perbedaan pendapat mengenai jenis landasan ijma' tersebut .
Mayoritas ulama mengatakan bahwa landasan ijma' itu bisa dari al-Qur'an, sunnah mutawatir, serta bisa juga dari berdasarkan dari dalil dhanny seperti hadis ahad dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma' yang dilakukan para sahabat tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri adalah didasarkan pada hadis ahad.
Demikian juga kesepakatan para sashabat menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi saw. dengan meng-qiyas-kannya kepada sikap Nabi saw yang menunjuk Abu Bakar sebagai Imam Shalat ketika beliau berhalangan. Para sahabat juga ber-ijma' bahwa lemak babi adalah haram dengan mengkiyaskannya kepada daging babi. Di lain itu, para sahabat juga bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum minuman keras di zaman 'Umar Ibn al-Khattab.
Ulama Z}ahiriyah, Shi'ah dan ibn Jarir al-T}abary mengatakan bahwa landasan ijma' itu harus dalil qat'iy. Menurut mereka ijma' itu adalah dalil yang qat'iy sehingga tidak mungkin dalil yang qat'iy itu disandarkan pada dalil yang z}anny seperti hadis ahad dan qiyas., karena hasil dari yang z}anny akan tetap z}anny. Ibn Hazm menambahkan ijma' dengan qiyas adalah batal. Karena kedudukan qiyas masih belum disepakati. Sehingga bagaimana mungkin mereka ber- ijma' berdasarkan sesuatu yang belum disepakati.
Berbeda dengan hal di atas, yaitu permasalahan, apakah ilham dapat dijadikan dalil ijma' . menurut ulama jumhur ilham tidak dapat dijadikan dalil dalam penetapan hukum. Akan tetapi sebagian ulama' seperti Fakhr al-Razy, Ibn S}olah, dan ulama Shi'ah berpendapat bahwa ijma' harus disandarkan pada dalil dan ilham adalah termasuk dalil dari beberapa dalil.
Sejalan dengan perbedaan pendapat di atas, para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan mas}lahah} mursalah} sebagai landasan ijma'. Para ulama menerima mas}lahah} mursalah sebagai suatu dalil untuk menetapkan ijma', dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubah maka ijma' pun bisa berubah. Sebagaimana para ahli fikih Madinah berpendapat bahwa menetapkan harga hukumnya adalah boleh. Para imam Madhhab juga bersepakat mengenai larangan orang yang mempunyai hubungan kekerabatan menjadi saksi. Selain itu, para sahabat juga sepakat menyatakan bahwa tanah negeri yang ditaklukkan, tidak dibagikan kepada para penakluknya, tetapi diserahkan kepada penduduk setempat dengan syarat penduduk itu mengeluarkan pajaknya, untuk kepentingan bait al-mal, gaji para Hakim, buruh, tentara, anak-anak yatim dan untuk orang-orang yang membutuhkan.

F. Perbedaan Batasan Ulama Mengenai Ijma'
1. Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma'
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama' tentanga umat yang awam atau yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota Ijma', dalam arti: apakah kesepakatan mereka menentukan sahnya ijma' dan ketidaksepakatan mereka meanyebabkan tidak sahnya ijma'.
Jumhur ulama' berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijma'. Maksudnya, meskipun umat yang awam menolak atau menerima apa yang telah disepakati oleh ulama' mujtahid, maka ijma' tetap dapat berlangsung, karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma' adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fikih dan mengeluarkan hukumnya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh ulama' mujtahid dan umat awam tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
2. Ijma' sesudah masa sahabat
Terdapat perbedaan ulama' mengenai, dalam hal apakah ijma' itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama' yang menyatakan bahwa ijma' itu mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma' tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada masa ijma' itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi kekuatannya.
Alasan yang dikemukakan kelompok ini ialah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma' tidak keluar dari al-Qur'an, sunnah dan logika. Setiap dalil itu tidak memisahkan antara penduduk satu masa dengan masa yang lainnya. Dalil itupun menjangkau para ahli pada setiap masa sebagaimana menjangkau para ahli pada masa sahabat.karena itu ijma' pada setiap masa mempunyai kekuatan hukum atau hujjah.
Daud al-Z}ahiry serta pengikutnya dari kelompok Z}ahiriyah dan Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan berbeda pendapat dengan jumhur ulama' tersebut. Mereka berpendapat bahwa ijma' yang mempunyai daya hujjah hanyalah ijma' pada masa sahabat, karena pada masa itulah memungkinkan terjadinya ijma' secara praktis, sebab waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan wilayah domisili mereka relatif berdekatan. Hanya dalam masa itulah ijma' dapat terlaksana menurut syarat-syarat yang ditentukan.
3. Kesepakaktan mayoritas
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal "apakah kesepakatan mayoritas ulama (mujtahid) dapat dikategorikan sebagai ijma'". Menurut jumhur ulama tidak sah ijma' yang hanya disepakati oleh mayoritas ulama sedangkan ada minoritas yang menentangnya.
Abu Husayn ibn Khayyat dari Mu'tazilah, Ibn Jarir al-T}abary, Abu Bakar al-Razy berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sudah dapat menghasilkan ijma' . Perndapat ini diperkuat dengan dalil bahwa Abu Bakar diterima sebagai Khalifah oleh umat adalah atas dasar kesepakatan mayorita sahabat waktu itu meskipun beberapa sahabat seperti Aly Ibn Aby T}alib dan Sa'ad Ibn 'Ubadah tidak sepakat terhadap hal tersebut.
Sebagian ulama bependapat bahwa bila jumlah minoritas itu mencapai tingkat mutawatir, maka ketidaksepakatan mereka menyebabkan tidak terlaksananya ijma'. Sebaliknya, apabila jumlah mereka kurang dari bilangan mutawatir maka ketidaksepakatan mereka tidak mempengaruhi kelangsungan ijma' .
4. Kesepakatan ulama Madinah
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ulama Madinah saja tidak merupaskan kekuatan hujjah terhadap ulama' lain yang tidak sependapat dengan itu; karena kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijma'. Alasannya adalah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan Ijma' itu, mencakup ulama secara keseluruhan.
Malikiyah dalam hal ini mengatakan bahwa kesepakatan ulama Madinah adalah Ijma' dan mempunyai kekuatan hujjah terhadap ulama lain yang menyalahinya. Di antara ulama ada yang menjelaskan mengenai kehujjahan Ulama Madinah itu adalah periwayatan ulama Madinah lebih kuat dibandingkan dengan periwayatan ulama lain di luar Madinah. Sedangkan ulama Malikiyah yang lain mengulas bahwa kehujjahannya berarti kesepakatan ulama Madinah lebih utama meskipun tidak dilarang untuk menyalahinya .

G. Cara Mengetahui Ijma'
Bila telah berlangsung sebuah ijma' maka ia mempunyai kekuatan hukum atau hujjah untuk umat pada masa berlangsungnya ijma' itu dan untuk masa sesudahnya. Tentang bagaimana caranya kaum muslimin mengetahui bahwa ijma' tentang suatu hukum telah berlaku dan mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan dari satu orang kepada oarng lain dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian ijma' itu ditetapkan melalui khabar atau periwayatan.
ijma' adalah dalil hukum yang bersifat qat}iy atau meyakinkan kebenarannya. Karena itu penukilan dan penyebarlusannya pun haruslah dengan cara meyakinkan pula, yaitu melalui khabar mutawatir, supaya sifat qat}iy pada asal hukumnya dapat diimbangi dengan qat}iy dalam segi sanad-nya.
Tentang penukilan ijma' melalui khabar ahad, terdapat perbedaan ulama. Sebagian ulama Shafi'iyah, sebagian ulama Hanafiyah dan ulama Hanbali, berpendapat bolehnya menukilkan ijma' dengan khabar ahad. sedangkan sekelompok ulama Hanabilah dan sebagian Shafi'iyah –seperti al-Ghazaly- berpendapat tidak boleh menukilkan ijma' dengan khabar ahad. Kedua kelompok ulama yang berbeda pendapat ini sepakat menyatakan ijma' yang dinukilkan melalui khabar ahad, kekuatan hukumnya bersifat z}anny, meskipun ia bersifat qat}'iy dari segi materi hukumnya.
Kelompok ulama yang memboolehkan penukilan ijma' melalui khabar ahad menggunakan alasan dengan nas}s} dan qiyas. Adapun alasan nas}s} adalah sabda nabi saw.:
نَحْنُ نحْكُمُ بالظّوَاهِرِ واللهُ يتولى السَّرَائِرَ
"Kami menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menyukai yang tersembunyi"

Kata z}ahir dalam hadis tersebut disebutkan dengan menggunakan alif-lam jinsiyah yang menunjukkan keumumannya, termasuk di dalamnya ijma' yang ditetapkan dengan khabar ahad, karena ia adalah z}ahir dan z}anny. Itulah yang dapat dicapai oleh manusia, sedangkan selebihnya itu diserahkan kepada Allah.
Adapun dalil qiyas yang mereka kemukakan ialah bahwa khabar ahad tentang adanya ijma' menimbulkan z}ann (dugaan kuat). Karenanya mengandung hujjah sebagaimana khabar ahad yang berasal dari hadis Nabi yang diakui kehujjahannya.
Kelompok ulama yang menolak penetapan ijma' berdasarkan khabar ahad beralasqan bahwa ijma.' Yang dinukilkan berdasarkan lisan yang ahad merupakan salah satu sumber fikih seperti qiyas dan khabar ahad dari Rasul. Tidak ada ijma' yang qat}'iy yang menunjukkan kebolehan berhujjah dengannya yang tidak didukung oleh dalil nas}s} yang qat}'iy dari al-Qur'an dan Sunnah. Selain dari z}ahir tersebut, tidk dapat dijadikan hujjah dalam us}ul, meskipun dapat dijadikan hujjah dalam masalah furu' .
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara ulama yang membolehkan dan yang menolak penukilan ijma' dengan khabar ahad berkisar sekitar dalil as}al itu disyaratkan harus qat}{'iy atau tidak. Ulama yang mensyaratkan as}al itu harus qat}'iy, menolak penggunaan khabar ahad dalam menukilkan ijma'. Sedangkan ulama yang tidak mensyaratkan dalil as}al harus qat}'iy, berpendapat bahwa ijma' yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan hujjah.

H. Kemungkinan Terjadinya Ijma'
Para ulama berbeda pendapat mengenai kemungkinan terjadinya ijma' menurut Jumhur Ulama, ijma' mungkin dapat terjadi sebagaimana hal itu dalam kenyataan telah terjadi di masa sahabat . Abu Zahrah dalam hal ini mengemukakan bahwa kesepakatan atau ijma' yang dilakukan oleh ulama secara keseluruhan adalah tidak mungkin terjadi. Pasalnya, para mujtahid berada ditempat yang berbeda dan tidak mungkin untuk mempertemuksan mereka dalam satu tempat.
Selanjutnya, Menurut mereka yang mengingkari ijma' seperti Ibrahim al-Naz}z}am al-Qashany dari golongan Mu'tazilah dan kelompok Khawarij, bahwasannya ijma' itu adalah mustahil untuk terlaksana di samping bahwa keberadaan ijma' itu tidak dibutuhkan. Dalam hal ini mereka berargumentasi dengan dalil firman Allah swt., sebagai berikut;
ياأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" .

Menurut mereka ketika terjadi perselisihan pendapat mengenai suatu perkara maka berdasarkan ayat ini diperintahkan untuk dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya, serta tidak diperintahkan berdasar ayat ini untuk dikembalikan atau diserahkan kepada umat. Menurut mereka lebih lanjut berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Mu'adh yang menjelaskan tentang tata cara ijtihad tidak menyebutkan tentang ijma'.
Di lain itu menurut Ibn Ahmad Ibn Hanbal mengatakan, siapa yang berkata adanya ijma' terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma' terhadap suatu masalah.apabilah ada yang bertanya apakah ijma' itu ada dan secara aktual terjadi, maka menurut Ahmad Ibn Hanbal jawabannya yang paling tepat adalah "kami tidak mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini'. Atas dasar ini Ibn Hanbal tidak menerima ijma' kecuali ijma' yang dilakukan para sahabat, pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Syafi'y, dan dua ahli fikih Hanbaly, yaitu Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Abdul Wahhab Khallaf, memberikan suatu alternatif jalan keluar untuk terjadinya ijma' yakni bahwa besarnya kemungkinan terjadinya ijma' terutama pada masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma', ditangani oleh suatu Negara dengan bekerja sama dengan Negara-negara lain yang meyoritas penduduknya beragama Islam. Setiap Negara mempunyai standar tertentu untuk menyatakan seseorang sebagai Mujtahid dan memberikan ijazah kepada mujtahid tersebut sehinggga dengan demikian semua mujtahid di dunia ini dapat diketahui .

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ijma' sebagai suatu kesepakatan dan hujjah masih diperselisihkan oleh para ulama. Beberapa syarat yang ketat sebagaimana menurut ulama jumhur memungkinkan ijma' untuk tidak dapat dilaksanakan, di antaranya adalah bahwa ijma' harus dilakukan oleh seluruh mujtahid. Meskipun ulama jumhur sendiri memberi sinyal bahwa ijma' masih mungkin untuk dilakukan, akan tetapi sebagaimana diungkap oleh Abu Zahrah, hal tersebut tidak mungkin terlaksana karena tidak mungkin untuk mempertemukan seluruh mujtahid dalam satu tempat.
Hal seperti di atas inilah yang membuat segolongan ulama mengingkari adanya ijma' seperti al-Naz}z}am dan golongan ulama Khawarij, atau setidaknya ijma' tidak dapat dilaksanakan dalam masa sekarang ini, karena sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal ijma' hanya dapat terlaksana pada masa sahabat. Pendapat ini juga yang disepakati oleh Syafi'i, Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidy, Saifuddin Aby al-Hasan 'Aly ibn Aby 'Aly Ibn Muhammad. Al-Ihkam fy Us}ul al-Ahkam. Libanon: Dar al-Fikr al-Ilmiyah, tt.
Bik, Muh}ammad Khud}ari. Us}ul al-Fiqh. Beirut: dar al-Fikr, 1988.
Al-Haj, Ibn Amir. al-Taqrir wa al-Tahbir. Jilid III. Mesir: al-Matba'ah al-Amiriyah, 1316 H.
Al-H}akim, Muhammad Taqiyy. al-Us}ul al-'Ammah li al-Fiqh al- Muqarin. Beirut: Dar al- Nahd}ah al-'Arabiyyah, 1971.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Al-Khabbazy, Jalal al-Din Aby Muhammad 'Umar bin Muhammad bin 'Umar. Al- Mughny fy Us}ul al-Fiqh. Makkah: al-Mamlakah al-'Arabiyyah al-Su'udiyah Jami'ah umm al-Qura, 1403 H.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Al-Z}ahiry, Aby Muhammad 'Aly IbnAhmad ibn Sa'id ibn Hazm. al-Ihkam fy Us}ul al-Ahkam. Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, tt.
Zahrah, Muhammad Abu. Us}ul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-'Araby, tt.
Al-Zuhayly, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islamy. Juz I. Damaskus: dar al-Fikr,1986.

Ijtihad Induktif dan Deduktif

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ahli hukum Islam mendefinisikan hukum Islam dalam dua sisi, yaitu hukum Islam sebagai ilmu dan hukum Islam sebagai produk ilmu. Sisi terakhir ini, hukum Islam disebut dengan kumpulan hukum-hukum shara' yang dihasilkan melalui ijtihad. Hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang mengupayakan lahirnya hukum shar'i 'amali dari dalil-dalil rinci.
Hukum Islam sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan, yaitu sebagai berikut ;
1. Hukum Islam dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu.
2. Pengetahuan-pengetahuan itu terjaring dalam suatu kesatuan sistem, dan
3. Mempunyai metode-metode tertentu
Pengetahuan dalam hukum Islam meliputi pengetahuan tentang dalil-dalil (nas}s}-nass}}), perintah, larangan, dan lain-lain. Pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang dimaksud misalnya asas tashri' bertahap, sedikitnya tuntutan shara', dan meniadakan kesulitan. Tersusunnya pengetahuan-pengetahuan itu dengan baik tidak lepas karena setiap pengetahuan terkait satu sama lain secara fungsional dalam suatu sistem tertentu. Karakteristik selanjutnya dari hukum Islam sebagai ilmu adalah adanya metode-metode tertentu dalam hukum Islam. Metode-metode tersebut tertuang dalam us}ul al-fiqh dan qawa'id al-fiqhiyah yang dalam operasionalnya meliputi antara lain sebagai berikut;
1. Metode deduktif (istidlal), yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau menginterpretaasikan dalil-dalil al-Qur'an dan al-Sunnah menjadi masalah-masalah us}ul al-fiqh.
2. Metode induktif (istiqra'i), adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan hukum atas suatu masalah yang memang tidak disebutkan rincian ketentuannya dalam nas}s} al-Qur'an .
3. Metode kausasi (ta'lili), yaitu berhubungan dengan suatu kasus dengan menganalogikannya dengan kasus lain karena adanya kemiripan sebab atau 'illat .
Dari karakteristik hukum Islam sebagai ilmu diatas menunjukkan bahwa apapun yang dihasilkan hukum Islam adalah produk penalaran yang berarti pula menerima konsekuensi-konsekuensinya sebagai ilmu. Di antara konsekuensi-konsekuensi itu adalah ;
1. Hukum Islam sebagai ilmu adalah skeptis
2. Hukum Islam sebagai ilmu bersedia untuk dikaji ulang
3. Hukum Islam sebagai ilmu tidak kebal kritik
Skeptisitas hukum Islam sebagai ilmu berarti bahwa pernyataan-pernyataan atau keputusan-keputusan yang dihasilkan hukum Islam melalui metode dan pendekatan-pendekatannya hanya bernilai relatif. Kapasitas nilai nisbi adalah mendekati kebenaran mutlak, jadi artinya kapasitas kerelatifan adalah kebenaran nisbi, yaitu suatu kebenaran yang dihasilkan ijtihad. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ijtihad tidak hanya upaya untuk memahami nas}s} saja, sementara ada masalah-masalah yang tidak tercakup dalam nas{s}} karena terjadinya perkembangan dan perubahan prkembangan manusia. Kondisi inilah yang dinyatakan Shahrastani bahwa nas}s}-nas}s} boleh saja berhenti, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum tidak pernah berhenti, sesuatu yang tidak terhenti tidak diatur oleh sesuatu yang terhenti .
Skeptisitas hukum Islam seperti disebutkan diatas jelas memberi peluang dikaji ulang. Artinya, kesimpulan-kesimpulan hukum Islam bersedia untuk diuji. Misalnya pengujian dan pengkajian ulang terhadap kesimpulan hukum Islam yang dihasilkan dari metode Induktif (istiqra'i) yang pernah dilakukan oleh Imam Shafi'i dalam menentukan waktu lamanya menstruasi bagi wanita.
Ada kemungkinan generalisasi Shafi'i terhadap seluruh wanita berdasarkan sampel wanita Mesir tidak tepat sebab fisik dan genetik manusia di dunia ini tidak sama, apalagi bila bioteknologi ikut campur tangan. Akibatnya, kemungkinan bias dari sampel yang ditetapkan adalah mustahil. Oleh karena itu, tetap berpeluang terhadap masalah ini untuk dilakukan eksperimen. Demikian pula kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh metode analogi, bersedia untuk diuji dan dikaji ulang karena analogi berfokus pada kategori yang kriterianya nisbi.
Konsekuensi lebih lanjut dari hukum Islam sebagai Ilmu adalah bahwa hasil-hasil kajian dan metode hukum Islam tidak kebal kritik. Artinya, ketetapan menggunakan metode dan pendekatan tertentu terhadap suatu keputusan terbuka untuk dikritik. Upaya ini dapat dilakukan melalui studi perbandingan mazhab, tarjih} dan tas}h}ih}. konsekuensi inilah yang menunjukkan bahwsa suatu pemikiran hukum Islam (ijtihad) bisa jadi benar, tetapi ada kemungkinan salah dan inilah yang memberi peluang untuk dilakukan kritik.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas yang menerangkan bahwa Metode-metode hukum Islam tidak kebal kritik lantaran merupakan hasil penalaran. Maka penulis dalam hal ini tergerak untuk mengkaji lebih lanjut prihal metode hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas. Dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana metode istidlal (deduktif) dalam hukum Islam?
2. Bagaimana metode istiqra' (induktif) dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana metode ta'lili (kausasi) dalam hukum Islam?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan metode sebagai berikut;
1. Data yang dikumpulkan
a. Data tentang tentang ijtihad istimbat}i dalam literatur hukum Islam.
b. Data tentang ijtihad tat}biqi dalam literatur hukum Islam.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Kedua sumber tersebut dihimpun dari literratur-literatur atau buku-buku berkenaan dengan ijtihad istimbat}i dan tat}biqi. Untuk lebih jelasnya kami uraikan sebagai berikut:
a. Sumber primer
1). Us}ul Fiqh, karangan Muh}ammad Abu Zahrah
2). Us}ul Fiqh al-Islami, karangan Wahbah al-Zuhayli.
3). Al-Muwaffaqat fy Us}ul al-Shari'ah, karangan Abu Ish}aq al-Shat}ibi.
4). Al-Ibhaj fy sharh} al-Manhaj, karangan 'Aly bin Abd al-Kafi al-Sabki.
5). Us}ul al-Fiqh; 'inda Ahl al-Sunnah wa al- Jama'ah, karangan Muhammd bin H}usayn bin H}asan alk-Jaizani.
6). 'Ilm Us}ul al-Fiqh, karangan Abd al-Wahhab Khallaf.
b. Sumber sekunder.
1). Fiqh (Hukum Islam) antara Pemikiran Teoritis dengan Praktis, karangan Abdul Wahab Afif.
2). Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, karangan Amir Muallim Yusdani.
3). Al-Ih}kam fy Us}ul al-Ah}kam, Ibrahim al-'Ajuz.
4). Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, karangan Amir Mu'allim, dan Yusdani.
5). Metodologi Ijtihad Hukum Islam, karangan Jaih Mubarrak.
6). Fiqh Dan Nalar Induktif Kajian Atas Qawa'Id Al Fiqhiyah Dalam Perspektif Induksi (Desertasi), karangan 'Abdul Mun'im.
7). Filsafat Hukum Islam, karangan Juhaya S. Praja.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yaitu dengan menghimpun data dari buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah ijtihad istimbat}i dan tat}biqi. Kemudian dilakukan analisis dari data-data yang ada agar relevan judul yang dibahas.
4. Teknik Analisis Data
Setelah pengolahan data tersebut dapat dilakukan dengan baik, maka dilakukan langkah penelitin selanjutnya dengan menggunakan metode sebagai berikut ;
a. Metode deskriptif ; yaitu memberikan gambaran secara jelas, objektif, sistematik dan komprensif dari sebuah objek tentang realitas yang terdapat dalam masalah yang diselidiki dengan cermat dan teliti.
b. Metode analitik; yaitu menganalisa secara kritis terhadap isi dari data-data yang telah ada (content analysis).
Dengan demikian penulisan makalah ini bersifat deskriptif-analitik.












BAB II
PEMBAHASAN

IJTIHAD ISTIMBAT}I DAN TAT}BIQI

A. Istidlal (penalaran deduktif)
Istidlal dalam segi etimologi adalah mencari dalil dan jalan yang menunjukkan kepada sesuatu yang dicari.
Dalam segi istilah istidlal dapat diartikan dengan mengemukakan dalil baik dalil itu berupa nas}s} atau ijma' atau qiyas dan lain sebagainya. Istidlal juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk dalil dari macam-macam dalil yang lain . Maksud dalam pembahasan pada makalah ini adalah penunjukkan lafaz} nas}s} terhadap suatu makna atau hukum.
Istidlal merupakan bentuk penalaran deduktif dalam Hukum Islam dalam arti bahwa kesimpulan hukum atau makna, diambil dari dalil-dalil umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau menginterpretaasikan dalil-dalil al-Qur'an dan Hadis yang menjadi masalah-masalah us}ul al-fiqh .
Abdurrahman I. Do'I , mengemukakan bahwa istidlal adalah proses mencari petunjuk landasan dan bukti dari beberapa sumber meskipun pengertian bahasannya hanya berisi sebuah argumentasi atau pembuktian dengan dalil.
Menurut ulama' Hanafiyah penunjukkan lafaz} terhadap makna dapat dibedakan menjadi empat, yaitu dilalat al-'ibarat, isharat al-nas}s}, dilalat al-nas}s}, dan dilalat al-iqtid}a'. Jumhur ulama menambahkan dengan kaidah yang kelima yaitu mafhum al-mukhalafah.
1. Dilalat al-'Ibarat, yaitu;
هي عبارة الكلام علي المعنى المقصود منه إما أصالة أو تبعا
"Penunjukkan kalimat terhadap makna yang dimaksudkan baik makna asli maupun makna tidak asli" .
Imam al-Bazdawi, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Adib Shalih}, menyatakan bahwa yang dimaksud dilalat al-'Ibarat adalah :
العمل بظاهر ما سيق الكلام له
"Mengamalkan z}ahir lafaz} dari sisi susunan kalimat (siyaq al-kalam)".
Misalnya adalah firman Allah berikut;
واحل الله البيع وحرم الربا
Lafaz} dalam ayat tersebut menunjukkan dua pengertian makna. Pertama adalah makna perbedaan antara jual beli (al-bay' ) dan riba (al-riba). Kedua adalah makna diperbolehkannya jual beli dan diharamkannya riba. Kedua makna ini adalah makna yang dimaksud dari susunan ayat tersebut. Makna yan pertama adalah makna asli berdasarkan bahwa ayat tersebut diturunkan untuk membantah orang-orang yang berkata; إنما البيع مثل الربا . Sedangkan makna yang kedua adalah makna tidak asli, untuk menyampaikan faidah dari makna yang dimaksudkan oleh makna asli.
2. Isharat al-Nas}s}
دلالة الكلام علي المعنى غير مقصود أصالة ولا تبعا ولكنه لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته
"Penunjukkan kalimat terhadap suatu makna yang tidak dimaksudkan baik menurut makna asli maupun makna yang tidak asli, tetapi sudah semestinya kalimat tersebut mengandung makna tersebut".

Dalam hal ini Abu Zahrah mencontohkan dengan firman Allah tentang kebolehan poligami sebgai berikut ;
وإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Ayat tersebut megandung arti bahwa seseorang tidak diperbolehkan menikah lebih dari satu orang wanita apabila diyakini ia tidak dapat berbuat adil di antara para istrinya. Kemudian dapat dimengerti berdasarkan isyarat ayat tersebut atau makna lazimnya bahwa berbuat adil terhadap isteri adalah wajib baik ia beristeri satu atau lebih dari satu.

3. Dilalat al-Nas}s}
Adapun pengertiannya nya adalah:
دلالة اللفظ على ثبوت الحكم المنطوق به للمسكوت عنه لاشتراكهما في علة الحكم التي يمكن فهمها عن طريق اللغة
"Penunjukkan lafaz} atas ketetapan suatu hukum yang tersurat kepada sesuatu yang tersirat karena adanya kesamaan 'illat yang dapat diketahui secara kebahasaan".

Contohnya adalah firman Allah; (ولاتقل لهما أف ولاتنهرهما). Ayat ini menjelaskan tentang larangan berkata "ah" (أف) kepada orang tua lantaran perkataan itu dapan menyakiti hati orang tua. Selanjutnya, berdasarkan dilalat al-nas}s}-nya ayat itu juga berarti larangan untuk memukul, mencaci atau melakuakan apapun yang dapat menyakiti mereka. Karena perkatan "ah" adalah bentuk menyakiti yang paling ringan, dan hal itu, dari segi kebahasaan, menunjukkan larangan atas semua hal yang dapat menyakiti orang tua.

Dilalat al-nas}s} disebut juga dengan mafhum al-muwafaqah, dan sebagian ulama menamakannya dengan qiyas jali. Namun demikian Dilalat al-nas}s ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahrah, dibedakan dengan qiyas } Dalam qiyas, 'illat yang menghubungkan antara yang tersurat dalam nas}s} dan yang tersirat diketahui dengan istimbat} atau ijtihad shar'i sedangkan dalam dilalat al-nas}s}, persamaan 'illat dapat diketahui dengan mudah dari sudut kebahasaan tanpa memerlukan ijtihad yang mendalam .
4. Dilalat al-Iqtid}a'
هي دلالة اللفظ على كل أمر لايستقيم المعني الا بتقديره
"Penunjukan lafaz} terhadap setiap hal yang maknanya tidak dapat dimengerti kecuali dengan menjelaskannya".
Ulama' us}uliyyun dalam hal ini memberi contoh dengan sabda Nabi saw:
رفع عن أمتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه
Kesalahan apabila telah terjadi maka tidak bisa dihilangkan lagi. Akan tetapi yang dimaksud adalah dosa . Dengan demikian pemahaman nas}s} di atas adalah: رفع عن أمتي (إثم) الخطاء ...... .
5. Mafhum Mukhalafah
Pengertiannya adalah;
دلالة الكلام علي نفي الحكم الثابت للمذكور عن المسكوت لانتفاء قيد من قيود المنطوق
"Penunjukan kalimat terhadap tidak adanya hukum yang tersirat berdasakan apa yang disebutkan dalam nas}s.} (tersurat), karena tidak adanya batasan atau ketentuan yang ada pada yang tesurat" .

Misalnya sabda Nabi Muhammad saw. Sebagai berikut;
مطل الغني ظلم يحلُّ عِرضه وعقوبتُه
"orang kaya yang mengundurkan pembayaran hutang adalah z}alim, maka halal kehormatannya dan boleh menerapkan sanksi terhadapnya".

Berdasarkan Hadis tersebut, penangguhan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya adalah termasuk ke-z}alim-an. Berdasarkankan pemahaman mafhum mukhalafah, maka dapat pahami bahwa penangguhan yang dilakukan oleh orang yang miskin tidak dianggap z}alim.
B. Istiqra' (Penalaran Induktif)
Istiqra' adalah penalaran induktif, yaitu suatu cara untuk mencapai kesimpulan yang bersifat umum atau preposisi universal melalui observasi atas kejadian-kejadian partikular .
Al-Shatibi, mendefinisikan istiqra' dengan penelitian terhadap makna-makna juz'i (khusus) untuk menetapkan kesimpulan hukum yang umum yang bersifat qat}'i atau bersifat z}anni . Lebih lanjut menurut al-Shatiby, kesimpulan hukum dari istiqra' dapat berimplikasi hukum secara mutlak atau qat}'ii apabila cara penentuan hukum yang didalamnya tercakup keseluruhan partikular-partikularnya. Sementara itu, kesimpulan hukum itu akan bersifat z}anni apabila cara penentuan kesimpulan hukum diambil dari kebanyakan partikularnya saja.
Lebih jelasnya, metode induksi ini terbagai menjadi dua yaitu induksi sempurna (istiqra' tamm) dan tidak sempurna (istiqra' naqis}}) . Istiqra' tamm adalah menetapkan suatu kesimpulan berdasarkan keseluruhan partikularnya. Sedangkan istiqra' naqis} adalah menetapkan kesimpulan yang universal berdasarkan kebanyakan partikularnya. Bentuk penalaran induksi yang pertama menghasilkan kesimpulan yang meyakinkaan atau berfaidah qat}'i. Adapun penalaran induksi kedua, menghasilkan preposisi yang kebenarannya relatif atau z}anni.
Al-Shatibi mencontohkan kesimpulan hukum yang menyatakan kemutlakan meniadakan kesulitan (raf' al-h}araj) dalam keseluruhan pembahasan adalah berdasarkan istiqra'. Menurut al-Shatibi, ketetapan syari'at menunjukan bahwa tayammum dapat dilakukan ketika kesulitan mendapatkan air, dibolehkan juga men-jama' antara dua shalat ketika dalam perjalanan dan ketika sakit, duduk dalam shalat ketika tidak mampu atau kesulitan berdiri, menqasar shalat dan membatalkan puasa ketika bepergian, mengucapkan kata kufur karena takut akan dibunuh atau tidak kuasa menahan siksaan, menghadap ke arah manapun dalam shalat ketika sulit menentukan arah kiblat, membasuh sepatu karena sulitnya mencopot serta menghindari bahaya, dan banyak hal partikular lain yang kesemuanya menunjukkan maksud Shari' untuk meniadakan kesulitan.
Al-Sabki, dalam hal ini mencontohkan bahwa shalat witir adalah tidak wajib karena dapat dilaksanakan di atas kendaraan berdasarkan ketepan ijma'. Sedangkan shalat wajib tidak ada yang dikerjakan di atas kendaraan berdasarkan istiqra' . dengan demikian dapat disimpulkan bahwa shalat witir bukanlah shalat wajib.
Istiqra' menurut Shafi'iyah, Malikiyah dan Hanabilah adalah hujjah. Hanafiyah tidak mengenal istilah istiqra' karena menurut sebagian mereka berpendapat bahwa seseungguhnya istiqra' itu merujuk kepada metode qiyas karena mununjuk pada satu sifat tertentu yang mengumpulkan keseluruhan juz'iyat. atau istiqra' itu merujuk kepada 'urf dan al-'adat .

C. Dialektika Deduktif-Induktif Fikih
Hukum Islam (fikih) sebagai kristalisasi reflektif dari penalaran Mujtahid atas teks hukum, selalu sarat dengan muatan ruang dan waktu yang melingkupinya. fikih terlahir di tengah dinamika pergulatan kehidupan masyarakat sebagai jawaban atas problematika aktual yang muncul. Problematika masyarakat selalu berkembang dan berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri. Atas dasar itu, fikih secara otomatis akan selalu berkembang dan berubah selaras dengan perkembangan dan perubahan waktu dan ruang yang melingkupinya. Inilah relevansinya fikih dikatakan dinamis, elastis, dan fleksibel karena selalu cocok untuk semua masyarakat walaupun selalu berubah dan berbeda .
Fikih, secara dinamis mengalami perubahan yang menjadi keharusan yang tidak dapat dielakkan. Hal tersebut didasari fakta bahwa fikih merupakan produk rasional ijtihadiyah para mujtahid yang tidak pernah final . Tentu saja sebagai produk rasional fikih, tidak terlepas dari peranan logika baik deduktif (istidlal) maupun induktif (istiqra').
Ketika suatu kesimpulan hukum yang bersifat khusus (mikro) diambil dari ketentuan atau dalil yang umum maka penalaran semacam ini disebut dengan logika deduktif. Akan tetapi sebaliknya, jika pengambilan kesimpulan yang bersifat umum dihasilkan dari fakta-fakta khusus, maka disebut logika induktif.
Proses deduksi dan induksi sebagaimana disebutkan di atas, dicontohkan Hibben sebagai berikut;
"From a Knowledge of the planetary system we can infer the necessary positions of sun, moon, and earth at any required time, as, for instance, in the calculation of an eclipse. This is deduction. But when we begin with investigating the several movements of the differents planets, and from them infer the necessary nature of the system of which they are parts, we have the process of induction"

Dalam hukum Islam, proses semacam ini dapat kita dilihat dalam contoh keharaman khamr. Ketika seseorang berangkat dari pengetahuan yang terdapat dalam teks (nas}s}) tentang keharaman khamr dan bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr, kemudian dari ketentuan nas}s} tersebut ia melakukan inferensi bahwa narkoba, wiski, dan vodka adalah haram karena mempunyai potensi (essensi) memabukkan yang sama dengan khamr. Maka proses ini disebut deduksi.
Sementara itu jika seseorang berangkat, dari melakukan penyelidikan terhadap narkoba, wiski, dan vodka. Kemudian dari penyelidikan itu, ia menginferensi bahwa semua itu termasuk khamr berdasarkan potensi atau essensi yang ada di dalamnya, maka proses ini dinamakan induksi.
Lebih lanjut Hibben menyebutkan tentang perbedaan antara deduksi dan induksi adalah sama halnya dengan perbedaan antara istilah truth (kebenaran) dan fact (fakta). Sebuah fakta hanya membawa karakter khusus dari kejadian tertentu di tempat ia berada. Sedangkan suatu kebenaran, bagaimanapun juga akan selalu bersifat universal, menginginkan penerapan secara universal dan dapat dilustrasikan dalam berbagai fakta yang berbeda-beda yang di dalamnya terdapat essensi kebenaran tersebut.
Atas dasar itu, apa yang dihasilkan dari kesimpulan deduktif dan induktif pun akan berbeda. Dalam logika deduktif hasil usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi yang sahih, yaitu suatu bentuk deduktif yang jika premis-premisnya benar konklusinya tentu juga benar. Hal ini berbeda dengan kebenaran logika induktif. Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai kebenaran yang pasti, yang ada adalah konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Dengan demikian, hasil usaha analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya berupa ketentuan-ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas setinggi-tingginya .
Kesimpulan induksi akan dapat berupa hukum bila diperkirakan tidak akan terbantah oleh observasi lain. Dalam hal ini, bisa jadi generalisasi Shafi'i terhadap seluruh wanita berdasarkan sampel wanita Mesir untuk menentukan batas menstruasi bagi wanita, tidak tepat atau terbantahkan jika terdapat observasi lain yang bertentangan dengan induksi (istiqra') Shafi'i itu.
Illustrasi mengenai dialiktika deduktif-induktif hukum Islam dalam sebuah kasus adalah sebagai berikut:
Sesorang yang melakukan penyelidikan terhadap minuman wiski, apakah minuman itu haram atau tidak, karena melihat fakta berdasarkan penyelidikan itu bahwa minuman itu berpotensi untuk memabukkan. Penyelidikan itu berlanjut, apakah terdapat dalam nas}s}, suatu ketentuan yang menyebutkan keharamannya secara eksplisit atau ketentuan umum yang memasukkan minuman tersebut dalam suatu hukum tertentu. Proses ini adalah induksi (istiqra').
Selanjutnya, ketika ditemukan dalam nas}s} ketentuan umum berupa larangan dan keharaman tentang minuman yang disebut dengan khamr, dalam firman Allah swt;
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Sedangkan dalam hadis juga disebutkan sebagai berikut;
حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الْعَتَكِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ
Berdasarkan ketentuan nas}s} di atas dapat dimengerti bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram. Dengan demikian lahirlah hukum Islam (fikih) yang menyatakan bahwa wiski adalah haram karena sama seperti khamr, ia mempunyai potensi memabukkan. Berdasarkan ketentuan us}ul fiqh, melalui metode istidlal (deduksi) secara eksplisit kesimpulan hukum (fikih) itu diambil dengan menggunakan metode analogi atau qiyas dan juga penunjukan lafaz} nas}s} terhadap suatu makna (dilalah al-nas}s}) .
Fikih yang lahir tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga dapat digali lagi dengan nalar induktif, terutama mengenai pengertian "memabukkan", sebagaimana disebutkan di atas Misalnya, mengenai batasan meminum wiski atau khamr, yang tidak sampai pada taraf memabukkan. Dari induksi ini, muncullah kaidah umum (qawaid al-fiqhiyah), yang mengemukakan;
ما اسكر كثيره فقليله حرام
Selanjutnya, kaidah umum ini dapat dijadikan sebagai dasar istinbat} untuk merumuskan fikih baru mengenai persoalan yang akan muncul kemudian. Dengan demikian proses terakhir ini adalah proses deduksi. Untuk lebih jelasnya perhatikan diagram berikut ini;
Fenomena Sosial Induksi Teks Wahyu Deduksi
Us}ul Fiqh

Fiqh baru Deduksi Qawaid al-Fiqhiyah Induksi Fiqh

D. Kausasi (Ta'lili)
Bentuk penalaran hukum Islam yang ketiga adalah kausasi atau yang lazim disebut dengan metode ta'lili. Metode ini didasarkan pada 'illat, atau dapat diketegorikan dalam kelompok penalaran ini adalah semua penalaran yang menjadikan 'illat sebagai titik tolaknya .
Dari segi bahasa 'illat disebut sebagai penyakit, atau sifat z}ahir pada sesuatu yang dapat merubah kondisinya karena sifat tersebut. Bisa juga diartikan nama (tanda) yang menyebabkan berubahnya peristiwa dari bentuk semula. Misalnya kondisi seseorang berubah karena sakit, maka sakit merupakan 'illat .
Sedangkan dari segi terminologi, Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan 'illat sebagai sifat yang mendorong penetapan hukum atau alasan atas pemberlakuan hukum demi kemaslahatan. Menurut Al-Gahazali, 'illat sebagai pendorong terhadap lahirnya sebuah hukum. Apabila 'illat ini terdapat dalam nash secara eksplisit disebut 'illat mans}us}ah dan apabila didapatkan setelah melakukan penelitian yang mendalam, maka disebut dengan 'illat mustanbat}ah .
Dalam bidang Filsafat Hukum Islam term 'illat kadangkala dipakai untuk sinonim sebab (al-sabab). Akan tetapi, seringkali kedua term itu dibedakan pengertiannya. Menurut Juhaya S. Praja , sebab tidak dapat menetapkan hukum, sementara 'illat dapat menetapkan hukum. Di lain itu, sebagaimana dikemukakan Jaih Mubarrak , sebab lebih umum dari pada 'illat. sehingga dapat dikatakan bahwa setiap 'illat itu adalah sebab,akan tetapi sebab belum tentu 'illat.

Syarat–Syarat illat
Ulama us}ul al-fiqh memberi batasan atau syarat bagi 'illat untuk dapat dijadikan alasan bagi terciptanya suatu hukum. Terdapat dua puluh empat (24) syarat yang ditetapkan oleh Ulama us}ul. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan menjelaskan syarat-syarat pokok yang disepakati oleh Ulama. Diantara syarat 'illat antara lain:
1. 'illat merupakan sifat yang bersesuaian untuk ditetapkannya suatu hukum. (an takuna al-'illat was}fan munasiban li al-hukm), dalam arti bahwa seorang mujtahid harus mempunyai dugaan kuat bahwa sutu hukum dapat ditetapkan oleh 'illat tersebut. Pada umumnya, dugaan yang kuat itu harus didasarkan kepada hikmat al-tashri', yaitu mendatangkan maslahah, atau manfaat,dan menolak mafsadah atau bahaya.
2. 'illat itu jelas adanya (an takuna al-'illat z}ahirah jaliyah), dalam arti 'illat bisa ditangkap oleh panca indra manusia, karena 'illat merupakan petanda yang bisa dilihat dan disaksikan. Misalnya sifat memabukkan dalam khamr. Maka bila 'illat bersifat batin (khafi) tidak bisa dijadikan alasan hukum, karena hal yang bersifat batin sulit untuk diterka dan dilihat. Oleh karena itu, kerelaan (ridha) dalam jual beli tidak bisa dilihat, karena ridha merupakan perkara batin, untuk itu, ahli fikih mengharuskan adanya ijab-qabul sebagai wujud nyata.
3. 'Illat harus dapat terukur dan berlaku untuk semua orang (an takuna al-'illat wasfan mund}abit}an), seingga tidak tercampur dengan yang lainnya. Misalnya pembunuhan menjadi 'illat bagi terhalangnya waris seseorang yang dibunuh, 'illat ini juga bisa dipakai dalam kasus wasiat yang sama, atau khamr dilarang karena 'illat memabukkan, maka 'illat memabukkan dapat diterapkan pada selain khamr yang memiliki kemampuan memabukkan.
4. 'illat harus memiliki daya jangkau (muta'addiyah). Maksudnya, disamping terdapat pada as}l, 'illat juga dapat ditemukan pada tempat lain. Seperti 'illat menyakiti pada perkataan "uf" ("ah") kepada kedua orang tua yang haram hukumnya, 'illat seperti ini dapat ditemukan pula pada ucapan ataupun perbuatan yang sejenis yang katagorinya sama-sama menyakiti orang tua (menghardik dan memaki atau bahkan memukul), untuk menetapkan hukum haramnya perbuatan tersebut .

E. Ijtihad Tat}biqi
Sebagaimana diketahui bahwa ijtihad menurut ulama us}ul adalah diartikan sebagai upaya mengerahkan kesungguhan dan mencurahkan segala usaha, baik dalam meng-istinbat}-kan hukum shar'i dalam menerapkannya (tat}biq). pengertian ini mempunyai arti bahwa adakalanya ijtihad tersebut dikhususkan pada istinbat hukum dan penjelasannya, dan adakalanya dikhususkan dalam penerapannya.
Ijtihad yang pertama dikhususkan pada segolongan ulama yang melakukan upaya untuk mengetahui hukum-hukum furu' 'amali dari dalil-dalil yang terperinci. Sebagian ulama berpendapat bahwa ijtihad dalam kategori ini dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja, sehingga bisa jadi ijtihad ini terputus atau terhenti pada suatu masa. Sebaliknya menurut ulama Hanabilah, bahwa bentuk ijtihad seperti ini tidak akan terhenti karena menurut mereka pada setiap zaman pasti terdapat seseorang yang berkualifikasi sebagai mujtahid .
Sementara itu, ijtihad dalam bentuk kedua (tat}biq), menurut kesepakatan seluruh ulama tidak akan terhenti dan ada di setiap zaman. Mereka dalam kelompok ini adalah ulama yang melakukan takhrij atas pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan yag melakukan penerapan terhadap 'illat-'illat atau hukum yang telah di-istinbat}-kan oleh para ulama terdahulu. Dengan penerapan ini dapat diketahui hukum-hukum mengenai berbagai persoalan yang belum dikenal oleh para ulama sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Us}ul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, tt.
Afif, Abdul Wahab. Fiqh (Hukum Islam) antara Pemikiran Teoritis dengan Praktis. Bandung: Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1991.
Aibak, Kutbuddin. Penalaran Ta'lili Dalam Hukum Islam, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. I. Surabaya: PPS IAIN Sunan Ampel, 2006.
Al-'Ajuz, Ibrahim. Al-Ih}kam fy Us}ul al-Ah}kam, juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Do'I, Abdurrahman I. Shari'ah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Al-Jaizani, Muhammad Ibn Husayn Ibn H}asan. Ma'alim Us}ul al-fiqh: 'Inda ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Riyad}: Dar al-Jauzi, 1998.
Ghozin, Nasuha, A. Epistimologi Kitab Kuning. Jakarta: P3M, 1989.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, I, cet ke II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hibben, John Grier. Logic; Deductive and Inductive. New York: Charles Scribner's Sons, 1905.
Khallaf, Abd al-Wahhab. 'Ilm Us}ul al-Fiqh. Kairo: Maktabat al-Da'wat al-Islamiyyah, tt.
Maktabah al-Shamilah (CD). Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal. Juz 1.Bab Ahl al-furu'.
Mubarrak, Jaih. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2002.
Mun'im, 'Abdul. Fiqh Dan Nalar Induktif Kajian Atas Qawa'id Al-Fiqhiyah Dalam Perspektif Induksi. Desertasi program pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007.
Al-Nadawi, Ali Ah}mad. al-Qawaid al-Fiqhiyah; Mafhumuha, Nash'atuha, Tat}awwaruha. Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas -LPPM Universitas Islam Bandung, 1995.
Al-Qur'an.
Al-Sabki, 'Aly bin Abd al-Kafi. Al-Ibhaj fy Sharh} al-Manhaj. Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1995.
S}ah}ih} Muslim, hadis no. 3733. Dalam CD al-Mawsu'ah al-H}adith al-Sharif.
Shalih}, Muhammad Adib. Tafsir al-Nus}us} fy al-Fiqh al-Islamy. Juz 1. Damaskus: Jami'ah Damaskus, 1984.
Al-Shat}ibi, Abu Ish}aq. al-Muwaffaqat fy us}ul al-Shari'ah, Jilid 2. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1999.
Soekardijo, R.G. Logika Dasar; Tradisional, simbolik dan induktif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Yusdani, Amir Muallim. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2004.
--------------, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999.
Al-Zuhayli, Wahbah. Us}ul Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003.

Kisah al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur'an adalah obyek yang tidak pernah habis dikaji dan diteliti. Oleh karenanya wacana baru dalam kajian al-Qur'an selalu muncul ke permukaan. Term ini berawal dari kehebatan al-Qur'an. Misalnya dari al-Qur'an dapat diketahui beberapa pendekatan metodologi. Darinya pula, dikenal berbagai macam variasi penafsiran. Dari sinilah, harus diakui bahwa al-Qur'an adalah mu’jizat yang tidak ada tandingannya. Disamping itu harus diakui pula bahwa al-Qur'an adalah kitab suci yang selalu menarik untuk dikaji, baik oleh Islam maupun non Islam, dari dulu sampai sekarang.
Studi al-Qur'an adalah salah satu dari kajian keislaman yang membahas beberapa persoalan yang terkait dengan masalah al-Qur'an, baik berupa kajian teks, maupun kajian konteks. Studi al-Qur'an yang sering disebut dengan ulum al-Qur'an merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari berbagai aspek dalam kaitannya dengan al-Qur'an. Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Qur'an mempunyai berbagai aspek yang dapat dikaji baik secara universal maupun parsial.
Kisah-kisah dalam al-Qur'an adalah salah satu dari sekian banyak hal yang terkait dengan al-Qur'an. Terdapat beberapa permasalahan yang kemudian harus mengkaji sesuatu yang lebih bersifat substansial dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur'an. Misalnya: salah satu bentuk kisah adalah menceritakan masa lalu dan masa yang akan datang, disamping itu juga banyak perumpamaan-perumpamaan serta pelajaran-pelajaran yang dapat diambil hikmah dibalik cerita lain yang akan dibahas dalam makalah ini.
Kendatipun banyak yang harus diketahui, diteliti dan dikaji dalam al-Qur'an, akan tetapi penulis hanya akan membahas “kisah-kisah dalam al-Qur'an saja”, yang secara spesifik akan memaparkan tentang tinjauan umum tentang kisah, macam-macam dan tujuan kisah dalam al-Qur'an serta rahasia pengulangannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tentang Kisah
Terkait dengan masalah tujuan umum tentang kisah ini, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan yaitu apa sebenarnya kisah itu dan apa yang kemudian disebut dengan kisah dalam al-Qur'an. Disamping itu juga perlu diketahui beberapa tehnik al-Qur'an dalam memaparkan kisah-kisahnya.
1. Pengertian
Kisah berasal dari kata “al-Qossu” yang berarti mencari atau mengikat jejak. Disamping itu juga dapat berarti potongan berita, berita yang berurutan, dab berita yang diikuti. Berbagai arti kata kisah tersebut terdapat dalam al-Qur'an yang diantaranya secara universal adalah pada: surat Ali Imran (3:62), al-A’raf (7:7,176), Yusuf (12:3, 111), al-Kahfi (18: 64), Thaha (20:99) al-Qashash (28:11, 25), dan an-Naml (27: 76).
Kisah al-Qur'an adalah pemberitaan al-Qur'an tentang hal ihwal umat terdahulu, kenabian terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Lebih dari itu, dalam kisah al-Qur'an menjelaskan tentang sesuatu yang belum terjadi maupun yang akan terjadi. Pemaparan kisah-kisah yang komplit ini, merupakan salah satu mu’jizat al-Qur'an yang diarahkan untuk memberikan pemahaman-pemahaman kepada umat manusia tentang sejarah Nabi atau umat terdahulu dan beberapa kejadian dimasa yang akan datang. Isyarat al-Qur'an ini merupakan salah satu metode atau media untuk menjelaskan ajaran Islam yang sebenarnya, sehingga dengan adanya kisah ini ada sesuatu yang dapat diambil hikmahnya.
2. Tehnik pemaparan
Dalam memaparkan kisah-kisahnya, al-Qur'an memiliki metode yang spesifik, misalnya memperlihatkan aspek seni dan mendominankan aspek keagamaan. Diantara tehnik pemaparannya adalah:
a) Berawal dari kesimpulan
Sebagian cerita dalam al-Qur'an, ada yang mulai dari kesimpulan dan diikuti dengan rinciannya: yaitu dari fragmen pertama hingga fragmen terakhir. Contoh: kisah Nabi Yusuf.
b) Berawal dari ringkasan
Tehnik ini memaparkan kisah dari ringkasannya yang kemudian diikuti rinciannya dari awal hingga akhir. Contoh: kisah Ashabul Kahfi.
c) Berawal dari ringkasan adegan klimaks
Pada tehnik pemaparan ini, al-Qur'an mengawalinya terlebih dahulu dengan adegan klimaks, kemudian dikisahkan rinciannya dari awal hingga akhir. Contoh: kisah Nabi Musa dengan keganasan Fira’un.
d) Tanpa pendahuluan
Pada umumnya, sebelum al-Qur'an memaparkan kisahnya, terdapat pendahuluan yang digunakan, misalnya ketika menjelaskan tentang nabi Musa dalam surat al-Nazi’at yang didahului dengan pertanyaan “Sudahlah sampai kepadamu kisah Musa?”. Kendatipun demikian, terdapat kisah yang tidak memakai pendahuluan. Yaitu langsung pada poin yang diinginkan. Contoh kisah Nabi Musa yang mencari ilmu dalam surat al-Kahfi.
e) Adanya keterlibatan imajinasi manusia
Dalam hal ini, kisah-kisah dalam al-Qur'an banyak yang disusun secara garis besarnya saja, sedangkan kelengkapannya diserahkan pada imajinasi manusia. Terikat dengan masalah ini, Watt mengatakan bahwa al-Qur'an disusun dalam ragam bahasa lisan (oral) dan untuk memahaminya hendaklah digunakan daya imajinasi yang dapat melengkapi gerakan yang dilukiskan lafad-lafadnya. Contoh: kisah Nabi Ibrahim dan Isma’il tatkala membangun Ka’bah dalam surat al-Baqarah (2:27)
f) Penyisipan nasehat keagamaan
Pemaparan kisah dalam al-Qur'an sering disisipi oleh nasehat keagamaan. Contoh: ketika al-Qur'an menuturkan kisah-kisah Nabi Musa dalam surat Thaha dari ayat 9 hingga 98, di tengah-tengahnya disisipkan tentang kekuasaan Allah, ilmu Allah, kemurahan Allah dan kebangkitan manusia dari kubur (ayat 50:55), kemudian diakhiri dengan pengesaan Allah (ayat 98) Begitu juga kisah keluarnya Adam dari surga yang dikisahkam al-Qur’an dalam surah al-A’raf (QS. 7: 11-27). Kisah ini melukiskan permusuhan Adam dan Setan atau Iblis. Awalnua para setan dilaknat dam dikeluarkan dari surga untuk selama-lamanya karena berlaku sombong dan enggan bersujud kepada Adam sebagai mana yang diperintahkan oleh Allah swt.
Dalam kisah tersebut, Iblis diceritakan meminta penangguhan dari Allah sebelum dikeluarkan dari surga untuk dapat memainkan peranannya sebagai perusak kehidupan dan musuh sekaligus penghalang manusia menuju jalan yang benar.
Selanjutnya dimulai dari kondisi Adam dan Hawa di surga, mendapatkan anugerah besar dari Allah untuk mereguk seluruh kenikmatan di surga kecuali buah Khuldi. Sampai pada titik ini, muncullah tokoj utama yaitu setan yang berperan sebagi penggoda manusia pertama. Adam menerima godan setan dan makan buah khuldi. Itu berarti dia melanggar larangan Allah, dan akibatnya dia dan Hawa harus keluar dari surga sebagaimana diharapkan Iblis.
Setelah itu, kisah ini ditutup dengan penjelasan mengenai akibat yang ditimpakan kepada makhluk-Nya bila melanggar larangan-Nya.Firman Allah: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaian untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamudari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak meriman” Inilah sisi petunjuk agama atau bimbingan keagaman dalam kisah ini yang selama ini menjadi misteri.

B. Macam-Macam Kisah dalam Al-Qur'an
Ada dua hal pokok yang secara garis besar menjelaskan tentang variasi isi kisah dalam al-Qur'an yang kemudian diklasifikasi dengan dua tinjauan, yaitu dari segi waktu dan materi.
1. Tinjauan dari segi waktu
a) Kisah ghaib pada masa lampau
Al-Qur'an mengesahkan sekian banyak peristiwa masa lampau. Walaupun diantara kisah yang terdapat dalam al-Qur'an tidak terbukti, akan tetapi sebagian lainnya dapat dibuktikan kebenarannya hingga kini. Hal ini menurut Quraisy Shihab tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menolak kisah dalam al-Qur'an, karena kisah tersebut walaupun tidak terbukti kebenarannya, juga belum terbukti kekeliruannya.
Diantara kisah tersebut adalah kaum ‘Ad dan Thamut serta kehancuran kota Iran, cerita Fir’aun, ashabul kahfi, Nabi Nuh, Maryam dan lain-lain. Dari beberapa contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa indikasi ghaib disini adalah karena cerita tersebut tidak dapat ditangkap oleh panca indera kita mengingat peristiwanya terjadi pada masa lampau yang tidak dapat dijangkau dengan fasilitas yang dimiliki manusia secara natural. Akan tetapi peristiwa-peristiwa tersebut, sebagian ada yang dibuktikan walaupun salah satunya tidak sama persis dengan apa yang telah dikemukakan oleh al-Qur'an.
b) Kisah ghaib pada masa kini.
Kisah ini menerangkan tentang hal-hal ghaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak zaman dahulu dan akan tetap ada pada masa yang akan datang) dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafiq. Misalnya cerita tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, para Malaikat, Jin, Syetan, siksa neraka, kenikmatan surga dan lain sebagainya.
c) Kisah ghaib pada masa yang akan datang
Dalam kisah ini al-Qur'an menerangkan tentang suatu peristiwa akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur'an, akan tetapi peristiwa tersebut betul-betul terjadi. Misalnya cerita tentang kemenangan Romawi setelah kekalahannya, kasus al-Walid bin Mughirahdan kasus Abu Jahal serta cerita-cerita lainnya. Pada model kisah ini, dikatakan ghaib pada masa yang akan datang karena pada mulanya cerita ini suatu informasi yang sebenarnya tidak terdapat argumentasi atau alasan rasional yang mengirinya akan tetapi benar-benar terjadi setelah al-Qur'an menyatakan cerita ini. Dalam bahasa manusia, kisah ini semacam ramalan yang benar-benar dapat dibuktikan karena terjadi setelah ungkapan sebelumnya.
2. Ditinjau dari segi materi
Selain dapat dilihat dari segi pemaparan secara periodik, kisah al-Qur'an juga dapat dilihat dari materi yang dipaparkan. Pertama, kisah para Nabi yang berisi tentang dakwah, mu’jizat, sikap musuhnya, tahapan-tahapan dakwah, akibat yang diterima bagi pendustanya, dan kisah-kisah lain. Kedua adalah kisah orang-orang tertentu sebagai pelajaran bagi manusia, contoh: Lukman Hakim, Qorun, Ashabul Kahfi dan sebagainya. Ketiga adalah peristiwa-peristiwa, misalnya terjadinya perang Badar, perang Uhud, Isra’ Mi’raj, hijrah dan lain sebagainya.
Mengingat variasi kisah yang terdapat dalam al-Qur'an, ada mengelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: pertama adalah Qisshah Tarikhiyah, yaitu kisah tentang seputar tokoh sejarah. Kisah ini dalam keterangan diatas dikatakan tokoh.
Kedua, adalah Qisshah Tansiliyah, yaitu kisah yang memaparkan peristiwa dengan tujuan untuk menerangkan suatu pengertian, sehingga kisah ini tidak perlu benar-benar terjadi, melainkan cukup berupa perkiraan dan khayal semata.
Ketiga, adalah qisshah al-Asatir, yaitu kisah yang berpautan dengan peristiwa yang terjadi dimasa lampau.
Dari semua penjelasan tentang kisah yang ditinjau dari segi materinya, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, bahan atau materi pokok yang disajikan suatu cerita dalam al-Qur'an melalui beberapa unsur, yaitu tokoh yang terdiri dari manusia, mahluk luas dan binatang. Kedua, adalah peristiwa. Dan ketiga adalah dialog. Berangkat dari sana semua, bahwa tidak ada perbedaan mendasar pada klasifikasi cerita dalam al-Qur'an sebagaimana disebut diatas, dan pada intinya antara yang satu dengan yang lain saling mengisi dan berorientasi pada satu maksud saja, yaitu berupaya mewakili semua kisah dengan satu konsep klasifikasi, walaupun antara yang satu dengan yang lain tetap saling melengkapi kekurangan masing-masing.

C. Tujuan Kisah dalam al-Qur'an
Dalam pemaparan kisah-kisah al-Qur'an, pada dasarnya terdapat banyak sekali faedah yang dapat dipetik manfaatnya. Faedah-faedah tersebut tertuang jelas dalam al-Qur'an, walaupun sebenarnya terdapat faedah-faedah yang tidak tertulis yang belum manusia ketahui secara pasti. Diantara faedah yang tertuang jelas dalam al-Qur'an adalah :
1. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para Nabi.
2. Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukung serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
3. Membenarkan Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan serta mengabaikan jejak dan peninggalannya.
4. Menampakkan kebenaran Muhammad dalam berdakwah dengan apa yang diberitakan tentang hal ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun dan generasi.
5. Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan dan menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu dirubah dan diganti.
6. Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa.
Dari beberapa faedah yang telah disebutkan diatas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya muatan atau kandungan yang terdapat dalam kisah-kisah itu adalah mencakup beberapa hal. Diantaranya adalah unsur teologis yang dapat dilihat dengan keterangan yang bersifat ketuhanan dan kenabian. Kedua, adalah moralitas, hal ini dapat dilihat dengan adanya pesan-pesan yang terdapat di dalamnya menyangkut suatu pelajaran-pelajaran penting yang harus dijadikan pelajaran. Adakalanya untuk ditiru maupun untuk dijauhi. Ketiga, adalah unsur peradaban dan sastra yang terlihat ketika metode penyampaiannya menggunakan cerita. Hal ini mempunyai hal tersendiri, misalnya dapat menarik perhatian yang membaca atau yang mendengarnya, disamping itu juga bahwa suatu hal yang dijelaskan atau diungkapkan dengan metode sastra, dapat langsung menyentuh jiwa orang atau obyek yang menjadi tujuan diungkapkannya perihal tersebut.
Lebih dari semua yang dipaparkan di muka, bahwa ketika kisah al-Qur'an dilihat dari tujuannya, maka diketahui letak perbedaan antara cerita dalam al-Qur'an dengan cerita pada umumnya. Al-Qur'an memakai kisah sebagai salah satu cara mengungkapkan tujuan-tujuan yang bersifat transcendental, kendatipun demikian, aspek kesusastraan suatu kisah pada al-Qur'an tidak serta merta hilang, terutama pada saat menggambarkan umat masa lalu. Sedangkan cerita sastra pada umumnya hanyalah menonjolkan ungkapan seni atau kesusastraan saja pada aspek tujuannya. Itulah perbedaan mendasar antara cerita al-Qur'an dengan cerita sastra biasa.

D. Rahasia Pengulangan Kisah
Terkait dengan masalah pengulangan kisah ini, terdapat beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dari aspek makna atau maksud pengulangan tersebut. Misalnya dengan adanya pengulangan tidak muncul suatu kejenuhan yang mengakibatkan pembaca atau pendengarnya terpengaruh dari sisi kejiwaannya yang pada akhirnya maqasid di dalamnya, tidak mengena atau bahkan tidak tercapai. Oleh karenanya, dapat dibenarkan apa yang telah diungkapkan oleh al-Tilhami, bahwa variasi penyampaian – terutama dalam al-Qur'an – mempunyai pengaruh terhadap kejiwaan obyek yang menjadi tujuan. Oleh karenanya tidak semua kisah dalam al-Qur'an yang mengalami pengulangan, akan tetapi sebagian saja. Hal inilah yang kemudian dapat dijadikan pijakan, bahwa dengan bervariasinya pengungkapan isi al-Qur'an. Akan dapat implikasi positif terhadap apa yang menjadi tujuan utama dikisahkannya suatu peristiwa.
Secara garis besar, minimal ada tiga bentuk pengulangan yang terdapat dalam al-Qur'an, yaitu:
1. Pengulangan alur kisah dengan tokoh yang berbeda
Diantara tujuan kisah dalam al-Qur'an adalah menetapkan keesaan Tuhan, kesatuan agama, kesatuan Rasul, kesamaan penggunaan metode dakwah dan kesamaan yang ditempuh bagi orang yang mendustakannya. Dari tujuan yang ingin disampaikan ini, al-Qur'an mengisahkan beberapa tokoh yang sama walaupun dengan alur yang berbeda. Misalnya kisah Nabi Nuh, Hud, Saleh as. Dalam surat al-A’raf (7:59-64, 65-72, dan 73-79), dan Juga dalam Surat al-Syu’ara’ (26: 123-127, dan 143-145). Untuk lebih jelasnya perhatikan kisah dalam surat al-Syu’ara’ berikut:
Kaum `Aad telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka Hud berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan ta`atlah kepadaku. Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam’.(26:123-127)
Ketika saudara mereka, Shaleh, berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”.(26:123-127)

2. Pengulangan alur kisah dengan kronologis yang berbeda.
Kisah-kisah dalam al-Qur'an tidak disusun berdasarkan kronologis kejadian yang sebenarnya, namun disesuaikan dengan tujuan dan kondisi pada waktu itu, sehingga tidak jarang suatu kisah tertentu diceritakan secara berulang-ulang dengan kronologi yang berlainan. Misalnya: kisah Nabi Syu’aib dalam surat al-A’raf (7:85-93), surat Hud (11:84-95) dan surat al-Syu’ara (26:176-190). Dan kisah Nabi Lut dalam surat Hud (11:77-83) dan al-Hijr (15:61-75).
3. Pengulangan dari kisah dengan gaya yang berbeda
Al-Qur'an sering mengalami cerita tokoh-tokoh kisah tertentu dalam beberapa surah dengan menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Misalnya kisah Nabi Musa yang diceritakan dalam surat Thaha (20:24-98), al-Syu’ara (26:10-68), dan al-Qashas (28:1-47).
Pada pengulangan cerita Musa diatas, terdapat gaya bahasa yang berbeda pada setiap suratnya dengan satu maksud yang sama. Pertama, pada surat Thaha, Musa diutus untuk berdakwah kepada Fir’aun, kedua, dalam surat as-Syu’ara Musa diutus untuk berdakwah pada kaum Fir’aun, dan ketiga, Musa diutus untuk berdakwah pada fir’aun dan kaumnya. Gaya bahasa yang berbeda tersebut senantiasa mengacu pada satu maksud yang sama, yaitu bahwa Nabi Musa diutus untuk berdakwah kepada Fir’aun dan kaumnya.
Contoh yang lain adalah Kisah tentang percakapan antara Allah dan Iblis yang enggan bersujud kepada Adam (QS. 7:12-13, dan QS. 15:32-34). Dalam hal ini Khalafullah mengemukakan bahwa pengulangan suatu kisah tidak dimaksudkan untuk mengulang kata-kata, akan tetapi yang dimaksud adalah mengulang maknanya. Karena itu, perbedaan dan persamaannya buun menjadi suatu masalah. Untuk jelasnya, perhatikan kisah dalam Al-Qur’an beikur ini:
“Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina". (7:12-13)
“Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?"Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk".Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk”.(15:32-34)

Dari beberapa bentuk diatas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya ada tujuan atau rahasia tertentu mengapa al-Qur'an mengulangi sebagian kisahnya. Diantara rahasianya adalah:
1. Menjelaskan ke-balaghah-an al-Qur'an pada tingkat paling tinggi. Karena diantara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai bentuk yang berbeda.
2. Menunjukkan kehebatan mukijizat al-Qur'an. Karena mengungkapkan suatu makna pada beberapa bentuk yang tidak satu bentukpun dapat ditandingi oleh sastrawan Arab adalah tantangan dahsyat dan bukti al-Qur'an itu benar-benar datang dari Allah SWT.
3. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Karena pada dasarnya, pengulangan adalah salah satu cara pengukuhan yang mengindikasikan bahwa suatu peristiwa tersebut benar-benar mendapat perhatian dari Allah.
4. Peredaan tujuan yang hendak diungkapkan. Dalam hal ini sebagian makna yang diungkap pada suatu tempat mempunyai makna berbeda dengan makna yang diungkap pada tempat yang lain. Dengan kata lain, suatu kisah diungkapkan sesuai dengan tuntutan kondisi yang diperlukan.
Suatu hal apabila kita melihat adanya tuduhan-tuduhan orientalis terhadap al-Qur'an, misalnya tentang adanya rekayasa pada kisah-kisahnya, ketidak-otentikan isinya, dan lain sebagainya terjadi ketika al-Qur'an disamakan dengan sejarah. Sehingga unsur-unsur sejarah yang harus dipenuhi juga harus terpenuhi pada al-Qur'an, misalnya waktu terjadinya baik tanggal maupun tahunnya. Hal inilah yang menyebabkan terbenturnya dua ideologi yang berbeda, sebab al-Qur'an tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Padahal diantara kelebihan al-Qur'an adalah kumulasi dari berbagai unsur yang masuk pada suatu “kitab suci”. Dengan kata lain, bahwa pada al-Qur'an terdapat beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh kitab suci lainnya maupun kitab-kitab ajaran agama lain, sehingga dari sini ada nilai lebih terhadap al-Qur'an.
Salah satu contoh, bahwa ketika Watt mengatakan adanya cerita dalam al-Qur'an adalah sesuai dengan pengalaman Muhammad dan pengikutnya serta dia (cerita itu) sudah dikenal sebelumnya, walaupun hanya pokok-pokok utama yang singkat. Dari sini dapat dikatakan bahwa suatu hal yang dikritisi oleh Watt adalah adanya pengulangan kisah dan indikasi kesamaan situasi dengan Muhammad dalam ungkapan-ungkapan kisahnya. Hal ini kemudian memberikan suatu interpretasi baru pada ke-otentitas-an sebuah cerita dalam al-Qur'an. Adapun contoh-contoh spesifik tentang tuduhan ini, bisa kita temukan dalam buku-buku literatur ulumul Qur’an semisal Manna’ Kholil Al-Qatthan: Mabahith fi ulum al-Qur'an, M. Quraisy Shihab: Mukjizat al-Qur'an, Ibnu Katsir: Qishas al-Qur'an dan literatur-literatur.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari semua paparan diatas, terdapat beberapa titik tekan pada kisah-kisah dalam al-Qur'an, yaitu:
1. Pada dasarnya, kisah dalam al-Qur'an bertujuan untuk mengantarkan manusia pada suatu kebenaran melalui berbagai metode penyampaian dan ungkapan unsur-unsurnya.
2. Walaupun intinya sama, akan tetapi dalam al-Qur'an terdapat dua hal yang pokok, yaitu bahwa variasi kisah dalam paparan diatas dapat dikelompokkan pada 2 (dua) hal saja, yaitu: cerita yang berupa “kenyataan” (cerita yang benar-benar terjadi), dan “simbolik” (cerita yang hanya berupa simbol belaka dan terjadinya bukan merupakan keharusan).

DAFTAR PUSTAKA

A. Khalafullah, Muhammad. al-Fann al-Qashash fy al-Qur'an al-Karim, Terjemah. Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah. Jakarta: Paramadima, 2002.
Al-Hazimi, Ibrahim bin Abdullah Qishash Waqi’iyah an al-Anbiya’ wa al-Rasul wa Al-Sahabah wa al-Tabi’in wa al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin, Beirut: Dar al-Haqq, 2000.
Al-Qattan, Manna Khalil Mabahith fi Ulum al-Qur'an, Beirut: Dar al-Fikr
Charisma, Moh Chadziq Tiga Aspek Kemukjizatan Al-Quran, Surabaya, Bina Ilmu, 1991.
Jalal, Abdul H. A, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Nuqrah, Al-Tilhami, Sikulujiyah al-Qishshah fy al-Qur'an, Tunisia: al-Syirkah al-Tunisiyah, 1971.
Qalyubi, Shihabuddin Stilistika al-Qur'an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur'an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Qutub, Sayyid, al-Taswir al-Fann fy al Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1980.
Syihab, M. Quraish, Mu’jizat al-Qur'an; Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarah Ilmiah Dan Pemberitaan Gaib, Bandung: PT Mizan Pustaka. 2004.
Watt, W. Montgomery Bell’s Introduction to the al-Qur'an, Endinburgh: The University Press, 1970.

Minggu, 17 Agustus 2008

Neo-Ijtihad

BAB I
PENDAHULUAN
Secara historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada masa Nabi saw, sahabat dan tabi’in serta masa generasi selanjutnya. Beberapa riwayat hadis yang cukup dikenal, membuktikan bahwa ijtihad telah ada sejak masa awal Islam, diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh 'Amr Ibn al-‘Ash, yaitu bahwasannya ia mendengar dari Rasulullah saw. Bersabda: “Apabila seorang Hakim hendak menetapkan suatu hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, msaka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum lalu berijtihad kemudian ijtihadnya itu salah maka baginya satu pahala”.
Pada periode awal Islam ini, atau yang disebut dengan periode Ijtihad, Islam menemukan masa keemasannya dengan adanya kemajuan di berbagai bidang khususnya fikih. Namun, segera setelah masa kejayaannya, dunia Islam mengalami kemunduran karena stagnasi pemikiran yang dilatar belakangi oleh anggapan tertutupnya pintu Ijtihad.
Anggapan tertutupnya ijtihad ini, biasanya diberi arti dengan berubah menjadi perwujudan taklid dalam pelaksanaan hukum Islam. padahal beberapa bukti juga menunjukkan bahwa aktivitas para ulama berikutnya justru tidak kalah kreatif ketimbang aktivitas ulama pendahulunya . Beberapa bukti menunjukkan bahwa seorang ulama dengan begitu mudah berbeda pendapat dengan pendapat imam madhhab yang dianutnya, walaupun ia memiliki komitmen untuk terikat dengan madhhab itu . Oleh karena itu bermadhhab pada dasarnya tidak identik dengan mempraktekkan taqlid dan lebih dari itu, anggapan mengenai tertutupnya ijtihad harus dikaji ulang.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Periode Taklid dan Kemunduran Islam
Secara umum terdapat dua ciri yang cukup dominan yang menjadi tanda kemunduran fikih Islam, yaitu taklid dan tertutupnya ijtihad: kedua hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
1. Sebab-sebab Taklid
Secara umum keterpaksaan tektual terjadi akibat hilangnya kebebasan berfikir. Farouk Abu Zaid berpendapat bahwa kebebasan berfikir hilang antara lain disebabkan oleh pemaksaan penggunaan aliran atau madhhab tertentu oleh pihak penguasa, seperti khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tas}im, dan al-Wathiq yang memaksakan Muktazilah kepada Ulama .
Menurut Sulaiman al-Asyqar, hal- hal yang menyebabkan taklid antara lain adalah sebagai berikut:
a. Adanya penghargaan yang berlebihan kepada Guru. Hal ini tercermin dalam anggapan bahwa setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu madhhab dan diharamkan keluar dari madhhab yang dianutnya itu. Selain itu, diharamkan pula mengambil pendapat selain dari pendapat Imam yang dianutnya.
b. Banyaknya Kitab Fikih, sehingga menyebabkan para ulama disibukkan dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih tersebut, seperti membuat ringkasan, penjelasan (Sharh}), serta penjelasan atas penjelasan (Hashiyah). Dan untuk selanjutnya mereka harus terpaku terhadap kitab tersebut dalam menghafal, menjaga isi serta cara-cara yang ditempuh oleh kitab itu.
c. Melemahnya Daulah Islamiyah yang berarti melemahnya dukungan terhadap pengembangan Ilmu.
d. Adanya Anjuran Sultan untuk mengikuti aliran yang dianutnya.
e. Adanya keyakinan sebagian Ulama yang beranggapan bahwa setiap pendapat Imam sejajar dengan Sejajar dengan Shari’at.
Sementara itu Jaih Mubarok, Mengungkapkan bahwa taklid itu terjadi karena dua hal: Pertama, keterbelengguan pemikiran sehingga ulama lebih suka mengikatkan diri dengan aliran fikih tertentu; dan kedua, karena ulama kehilangan kepercayaan diri untuk berdiri sendiri yang didasarkan pada anggapan bahwa ulama pendiri madhhab itu lebih cerdas dan pintar dari diri mereka .
Salah satu dampak keterbelengguan akal dan pikiran adalah timbulnya pendapat ulama yang memandang bahwa pendapat para Imam Madhhab sepadan dengan nas}s} al-Qur’an dan al-Sunnah yang tidak dapat diubah dan digugat. Misalnya saja ‘Ubaid al- Karkhi (w.349), salah seorang ulama madhhab Hanafi yang pernah berkata: “Setiap ayat al-Quran dan Hadis yang bertentangan dengan Madhhab Hanafi dapat ditakwilkan atau dinaskh-kan.” Imam Iya>d} juga pernah berkata,”Bagi yang taklid kedudukan Imam madhhabnya dinilai sejajar dengan al-Qur’an dan Sunnah”.
Inilah yang mendasari bahwa pengelompokan para ulama ke dalam madhhab, menurut Coulson, dilatar belakangi oleh fanatisme seorang murid terhadap seorang ahli hukum terkemuka, sehingga terdapat pengkultusan tokoh di dalamnya dan murid itu harus menyesuaikan diri dengan kelompok serta memuji otoritas pimpinannya. Pengkultusan tokoh ini berkembang sedemikian rupa meskipun para pemimpin itu sendiri selalu menekankan kreatifitas dan kebebasan individu serta kemungkinan salah atas ajaran yang mereka terapkan. Sebagai contoh, Imam Shafi'i>, secara konsisten tidak mengakui ide madhhab hukum baru didasarkan atas penerimaan ajarannya secara pasif. Untuk lebih jelasnya berikut kami uraikan beberapa pernyataan dari para Imam Madhhab yang menekankan kreatifitas bukan kepada taklid;
1). Imam H}anafi>
إنْ كان قَوْلي يخالفُ كِتابَ الله وخَبَرَ رسولهِ فَاتْركُوا قَوْلي
" Bila perkataanku menyalahi Kitab (al-Qur'an) dan Hadis Rasul-Nya, maka tinggalkanlah olehmu perkataanku"

2). Imam Ma>lik
إنمّا أنا بشَرٌ أُخْطِئُ وأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فيِ رَأْيِي فكلُّ مَا وَافقَ الكتابَ والسُّنّةَ فخُذُوهُ وكلُّ مالم يُوافِقْ فاتْركُوا
"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang bisa salah dan benar. Maka, perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab (al-Qur'an) dan al-Sunnah, ambillah dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah" .

كلُّنا رادّ ٌ ومردودٌ إلّا صاحبَ هذا القَبْرِ يعني النّبي صلى الله عليه وسلَّم
"Masing-masing kita menolak dan tertolak, kecuali orang yang menghuni kubur ini, yaitu Nabi saw" .

3). Imam Sha>fi'i>
إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابي خِلافَ سنّةِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فقُوْلُوْا بِسُنّةِ رسولِ الله صلى الله عليه وسلَّم ودَعُوْا ما قُلْتُ
"Apabila kamu menemukan dalam kitabku yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw. Maka, berkatalah dengan sunnah Rasulullah saw., dan tinggalkanlah pendapatku" .

مثلُ اللّذِيْنَ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بلا حُجَّةٍ كمثلِ حاطِبِ ليْلٍ يَحْمِلُ حِزْمَةً وفيه أَفْعَى تَلْدَفُهُ وهوَ لَايَدْرِيْ
"Perumpamaan orang yang mencari suatu ilmu tanpa alasan seperti orang yang mencari kayu bakar di waktu malam yang membawa satu ikatan kayu, sedang di dalamnya terdapat seekor ular yang akan mematuknya sementara dia tidak tahu" .

4). Imam Ibn H}anbal
لاتُقَلّدُني ولَاتُقلِّدُ مالكًا ولاثَوْرِي ولا أَوْزَعِي وخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا
"Jangan engkau bertaklid kepadaku, dan jangan bertaklid kepada imam Malik, jangan kepada Thaury dan juga terhadap Auza'i>. Ambillah dari dari pada yang mereka ambil" .

Akan tetapi kesetiaan para, muridnya telah melahirkan madhhab hukum baru yaitu madhhab Shafi'i> setelah Shafi'i> wafat tahun 820.
Pengelompokan madhhab serta pengkultusan ini pula yang melahirkan persaingan di antara mereka. Tetapi sejak abad ke-9, para pengikut madhhab mendukung sautu teori umum yang secara prinsip sama menyangkut sumber hukum, dan dengan adanya tujuan yang sama, maka persaingan awal yang terjadi di antara mereka lambat laun memudar dan hidup berdampingan secara damai dengan menganggap doktrin mereka sama-sama sah untuk menetapkan hukum Tuhan.
Dengan demikian, doktrin fuqaha pada awalnya mncul dengan otoritas yang mereka sendiri tidak pernah mengklaim untuk itu. Kemudian, pada awal abad ke-10 M. nampak bahwa hasil-hasil awal ahli hukum telah dianggap matang dan tuntas. Karenanya ijtihad setelah itu boleh jadi tidak ada manfaatnya. Pada fase inilah dikenal bahwa pintu ijtihad telah tertutup.

2. Tertutupnya Pintu Ijtihad
Sebagamana dipahami bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum Syara’ . Dalam arti luas atau umum menurut Harun Nasution, ijtihad juga digunakan dalam bidang selain hukum Islam. Aktifitas Ijtihad ini diasumsikan oleh beberapa sarjana Modern telah terhenti pada akhir abad ketiga, berdasarkan kesepakatan ahli hukum muslim sendiri. Proses ini, dikenal sebagai “tertutupnya pintu Ijtihad” .
Berbeda menurut pendapat diatas menurut sebagian ulama, yang dikutip oleh Muhammad ‘Aly Sayyis, anggapan ijtihad tertutup muncul pada abad ke IV H. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibn Jari>r al-Ta}bary (w. 310 H.), merupakan ulama mujtahid mustaqil terakhir. Setelahnya ulama mengikatkan diri pada aliran fikih tetentu .
J.N.D. Coulson menyatakan, sebagaimana beberapa tokoh lain, bahwa sekitar abad ketiga umum diterima bahwa pintu Ijtihad telah tertutup. H.A.R. Gibb, menguatkan dengan menyatakan bahwa para ulama Muslim awal menegaskan bahwa pintu Ijtihad telah tertutup dan tidak akan dibuka lagi .
Mengenai penutupan pintu ijtihad ini, pada dasarnya menuai pro dan kontra. Beberapa ulama menganggap bahwa tertutupnya ijtihad karena para mujtahid telah habis sehingga ijtihad tidak dapat dilakukan lagi. Lebih dari itu, sebagaimana di dalam karya-karya hukum Muslim, bahwa syarat-syarat ijtihad yang telah ditetapkan telah membuat para ahli hukum mustahil untuk melakukan ijtihad. Hal tersebut disebabkan karena kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan untuk mempraktekkan ijtihad, telah dibuat sedemikian rupa, tidak ternoda, ketat, dan ditetapkan sedemikian tinggi sehingga hal itu secara manusiawi mustahil untuk dipenuhi .
Sementara itu, berbeda dengan pendapat diatas, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa jika praktek ijtihad adalah tujuan utama dari metodologi dan teori Us}u>l fiqh selama perjalanan sejarah Islam, pertanyaan yang bisa diajukan adalah dalam cara apa pintu ijtihad dipandang telah tertutup?
Para Ulama Hambali berpendapat bahwa tidak suatu masa pun berlalu di dunia ini, kecuali di dalamnya ada orang yang mampu berijtihad. Dengan adanya orang tersebut agama akan terjaga dan upaya-upaya mengacaukan agama pun akan dapat dicegah . Abu Zahrah berkata: “Kita tidak tahu siapa yang menutup pintu ijtihad”. Jika ada orang berkata: “pintu ijtihad telah tertutup, mana dalilnya?”
Pendapat di atas, bisa dibilang merupakan penolakan terhadap anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Pendapat diatas bukan tidak berdasar, sebagai mana disimpulkan oleh Hallaq, bahwa selama 5 abad pertama Islam, aktifitas ijtihad tidak terhenti baik pada tataran praktis maupun teoritis dan bahwa gagasan mengenai insida>d ba>b al-Ijtiha>d, atau ungkapan yang mungkin bersinggungan dengan gagasan penutupan Ijtihad, tidak pernah terjadi pada kaum muslim. Mengenai hal ini terdapat suatu perdebatan diantara ulama klasik mengenai apakah pintu Ijtihad tertutup itu tertutup atau tidak, yang kami kutip sebagai berikut:
“Seorang ahli pengikut Madhhab Abu Hanifah bertanya, “Dimanakah para Mujtahid?” (persoalan ini menutup Pintu Ijtihad (bab al-qada’). Seorang pengikut Hambali (Ibn ‘Aqil) dengan tangkas merespon dengan tiga jawaban pasti, pertama, ia berargumentasi bahwa “jika pintu peradilan ditutup sebab seorang hakim dituntut berkualifikasi Mujtahid, sehingga pintu Ijtihad (juga) ditutup sebab anda mengklaim bahwa putusan (hukum) seorang hakim non-Mujtahid adalah tidak valid sampai dikukuhkan oleh seorang mujtahid, jika anda mengklaim bahwa para mujtahid tidak ada dan jika anda memerlukan seorang mujtahid untuk membimbing para hakim dan jika anda tidak memandang putusan-putusan hukum pada saat ini tidak valid…maka mujtahid yang anda perlukan untuk mengesahkan putusan non-mujtahid menyalahi klaim anda mengenai tidak eksisnya mujtahid…”

Meskipun tertutupnya pintu Ijtihad masih diperdebatkan, namun konteks sejarah menyebutkan bahwa anggapan tertutupnya pintu Ijtihad tidak hanya menimbulkan kemandekan dan kemunduran Islam tetapi lebih dari itu mengakibatkan klaim madhhab yang paling benar oleh masing-masing pengikutnya. Kondisi semacam itu tenntu saja melahirkan ketidak harmonisan di kalangan umat Islam, sebab dalam sejarah umat Islam trdapat banyak aliran. Rasa saling menghormati dikalangan ulama yang berkembang sebelumnya digantikan dengan kebiasaan saling menghina. Sebagaimana Imam Shafi’I pernah berkata” Dalam bidang fikih manusia berutang budi kepadaAbu Hanifah. Imam Malik pernah memuji Abu Hanifah,” Aku tidak pernah melihat ulama yang lebih pandai dari Abu Hanifah”. Imam Shafi’I pernah memuji Imam Malik dan Sufyan Ibn Uyaynah, “Kalau saja tidak ada Imam Malik dan Imam Sufyan, Ilmu Hijaz pasti hilang” .
Saling menghormati dan memuji seperti yang tercermin di atas, digantikan oleh kegiatan saling mencaci atau menghina. Para pengikut Abu Hanifah menjelaskan riwayat dan kepandaian Abu Hanifah, untuk mempertinggi derajat Abu Hanifah, mereka berkata, “Imam Shafi’I bukan keturunan Quraish, tetapi keturunan budak Quraish.” Para pengikut Imam Malik berkata, “Imam Shafi’I adalah pembantu Imam Malik’. Para pengikut Imam Shafi’I berkata, Ahmad Ibn Hanbal adalah Pembantu Imam Shafi’i.
Sekali lagi bahwa selama ini kita terima pengertian bermadhhab adalah mengikuti pendapat-pendapat Fuqaha’ yang telah mengklaim diri mereka sebagai pengikut salah satu Imam Madhhab. Kalau kita datau menganggap diri kita sebagai pengikut madhhab al-Shafi’I, maka kita harus mengikuti pendapat fuqaha’ tersebut (yang pada umumnya masa mereka sangat jauh dari imam madhhab itu sendiri) dengan merujuk kepada kitab-kitab mereka. Sedangkan kitab-kitab karya imam pendiri madhhabnya, dalam contoh ini adalah imam Shafi’I itu sendiri, jarang atau hampir tidak pernah dijadikan rujukan secsara langsung. Bahkan karya para murid Shafi’I juga tidak pernah dijadikan rujukan .

B. Latar belakang Munculnya Neo Ijtihad Modern
Sebagaimana diketahui bahwa dalam sejarah Islam terdapat sebuah anggapan yang menyatakan bahwa ijtihad telah tertutup. Generasi ahli hukum berikutnya tidak lagi mempunyai hak penyelidikan yang independen dan bahkan diikat oleh prinsip taklid kepada doktrin pendahulunya . Dapat disimpulkan bahwa anggapan ini berakibat besar dalam dunia pemikiran Islam, sehingga menimbulkan taklid yang mengarah pada klaim madhhab yang paling benar serta kemunduran Islam dalam berbagai bidang. Sementara itu bangsa Eropa yang mengambil alih jiwa Ijtihad mengalami kemajuan pesat.
Ketika bagian-bagian kebudayaan Eropa yang dihasilkan oleh jiwa Ijtihad masuk ke dalam Dunia Islam, para Ulama itu sadar, bahwa untuk mengatasi kemunduran umat Islam, pintu Ijtihad yang dikatakan sudah tertutup itu, harus dibuka. Seiring dengan dibukanya kembali pintu ijtihad itu, bermuncullah pemimpin-pemimpin pembaharuan seperti, al-Tahawi, Jamal al-Di>n al-afghani>, Muhammad Abduh, yang menjelaskan bahwa pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Dalam buku tafsirnya al-Manar, Muhammad abduh mengkritik orang yang membunuh Ijtihad dan yang melarang orang lain berijtihad. Sedangkan al-Tahtawi, dalam bukunya, al-Qaul al-Sadi>d al-Ijtihad>d wa al-Taqli>d, menjelaskan bahwa ijtihad perlu diadakan untuk menghadapi problem yang timbul di zaman modern.
Dewasa ini pendapat umum di dunia Islam mengakui terbukanya pintu ijtihad. Namun, kenyataannya sedikit sekali ijtihad yang dilakukan oleh para ulama. Dengan kata lain tidak banyak ulama yang memasuki pintu itu. Salah satu sebabnya adalah ialah pelik dan kompleksnya masalah-masalah keagamaan yang dimunculkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Masalah-masalah yang dihadapi oleh ulama abad kesembilan belas, apalagi abad ke dua puluh, jauh berbeda dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh ulama Mujtahid sepuluh abad yang lalu. Pada masa itu, selain ilmu dan teknologi pesat seperti sekarang, seorang ulama sanggup menguasai berbagai macam ilmu yang ada pada zamannya, sehingga mereka mampu secara individual melakukan ijtihad dengan baik.
Sedangkan pada abad sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi telah demikian berkembang, sehingga tidak mungkin lagi bagi seorang ulama untuk menguasai berbagai bidang ilmu, dan spesialisasi pun telah berkembang pada berbagai cabang ilmu.
Pengetahuan ulama banyak dibatasi oleh bidang spesialisasinya, sedangkan masalah-masalah yang dihadapinya selalu berkembang dan sedemikian kompleks. Misalnya, masalah KB berkaitan erat dengan ilmu kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu kedokteran, ilmu jiwa dan ilmu-ilmu lain, di samping tentu saja ilmu keagamaan. Karena itu, di zaman Modern ini ijtihad Individual seringkali tidak mampu memecahkan permasalah yang ada . Atas dasar itulah, para ulama berusaha menggalakkkan ijtihad dengan mengurangi keketatan syarat-syarat ijtihad dan membentuk lembaga ijtihad yang beranggotakan dari berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu: agama, ekonomi, politik, teknologi, kedokteran, hukum dan sebagainya. Dengan demikian satu masalah dapat terpecahkan dan dapat ditinjau dari berbagai aspek .
Hampir sejalan dengan pendapat di atas yaitu pendapat Coulson yang mengemukakan bahwa ketika keadaan masyarakat telah berkembang dan senantiasa berubah maka hukum yang sudah tetap sebelumnya mulai dipertanyakan otoritasnya. Hal itulah yang terjadi dalam hukum Islam. Meskipun tidak ada dorongan sosial yang riil untuk menentang otoritas kitab-kitab hukum sebelumnya, akan tetapi tatkala masyarakat Islam menerima nilai-nilai dan ukuran-ukuran tingkah laku yang berbeda, doktrin tradisional semakin dipertanyakan begitu juga menyangkut prinsip taklid, sebagaimana para ulama dan pemikir muslim kaliber M. Abduh di Mesir dan Iqbal di India secara terang-terangan menolak doktrin taklid. Tentu saja tradisi hukum tradisional tidak akan dibuang begitu saja .
Pada tahap inilah menurut Coulson muncul neo-ijtihad dengan interpretasi independen tentang teks wahyu Tuhan. Hasil-hasil pendekatan baru muncul di berbagai wilayah. Di Syiria, misalnya, diundangkan dalam undang-undang hukun Syiria tahun 1953 pasal 117 bahwa dalam masalah perceraian bahwa seorang suami yang mentalak isterinya tanpa sebab yang masuk akal dan isteri menderita kerugian material, maka pengadilan dapat menyuruh suami itu membayar ganti kerugian isteri .
Dilain itu, hukum status personal Tunisia 1957, secara singkat menyatakan : "perceraian di luar pengadilan sama sekali tidak mempunyai efek hukum." Seorang suami yang ingin mentalak isterinya harus hadir di hadapan pengadilan dan pengadilan akan mengeluarkan putusan perceraian tersebut jika suami tetap pada pendiriannya. Pengadilan juga diberi wewenang apakah suami akan membayar ganti rugi kepada isteri. Dengan demikian pembayaran ganti rugi diberikan tanpa suatu batas yang ditentukan oleh hukum.
Untuk memperkuat inovasi ini, disebutkan bahwa talaq hanya efektif bila melalui proses pengadilan. Para ahli hukum Tunisia mendasarkan pada ayat Qur'an yang menyatakan: "apabila perselisihan muncul di antara suami isteri, maka angkatlah penengah." Tampaknya inovasi ahli hukum Tunisia inilah yang menginspirasi para ahli hukum di Indonesia untuk menerapkan hukum yang sama prihal hukum personal ini.
Lebih lanjut pengadilan menurut hukum Tunisia, akan mengabulkan permohonan cerai dalam tiga keadaan prinsip; pertama, salah satu pihak mampu menghadirkan suatu dasar yang diakui untuk terputusnya perkawinan di pengadilan; seperti sakit fisik, mental, atau pelanggaran perkawinan. Kedua, jika suami-isteri saling menyetujui untuk bercerai. Ketiga, jika salah satu pihak tetao menuntut untuk bercerai, dan pihak pengadilan menetapkan ganti rugi yang pantas yang harus dibayar .
Berdasarkan uraian tersebut, secara singkat dapat di mengerti bahwa hukum Tunisia saat ini, meletakkan isteri dalam perkara perceraian di atas dasar yang sama dengan suami. Inilah merupakan langkah revolusioner yang dilakukan ahli hukum Tunisia. Lebih dari itu menurut Coulson, "tidak ada hukum perceraian modern sekarang ini yang lebih positif dan tegas dari pada kitab undang-undang hukum Tunisia.
C. Dampak Kemunculan Neo-Ijtihad Modern
Sebagaimana disebutkan di atas, mengenai dampak kemunculan neo-Ijtihad, terutama dalam hukum Syiria dan Tunisia, melalui pendekatan-pendekatan baru yang independen. Beberapa pendekatan lain yang baru juga dilakukan oleh para ahli hukum Islam diantaranya dengan memberi keringanan terhadap syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mujtahid, tajzi'at al-ijtihad, membentuk lembaga ijtihad, penyeragaman hukum dan juga melakukan percampuran hukum Islam dengan Barat. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

1. Kualifikasi Mujtahid
Adanya anggapan mengenai syarat mujtahid abad klasik, yang tidak dapat tersentuh karena sedemikian ketat memunculkan beberapa langkah yang ditempuh oleh para ahli hukum Islam untuk mengurangi keketatan syarat-syarat kualifikasi seorang mujtahid.
Muhammad Ibn Aly al-Basry, misalnya mencontohkan dalam bidang waris, mengemukakan, kapanpun seorang ahli hukum mampu mempraktekkan ijtihad dalam suatu kasus waris meskipun ia tidak memiliki akses untuk mengetahui aturan-aturan positif (furu>’) yang telah menjadi ijma’, ia masih diperkenankan untuk melakukan hal itu. Menurut al-Basry, hal tersebut dapat diperkenankan berdasarkan alasan bahwa prinsip prinsip metodis dan subyek materi tekstual yang berhubungan dengan waris adalah independent dari wilayah hukum lain. Sebaliknya ahli hukum lain tidak mengupayakan ijtihad di wilayah hukum lain sampai ia melengkapi dirinya dengan alat-alat yang diperlukan .
Ghazaly , ketika membahas tentang tentang syarat-syarat ijtihad, menegaskan bahwa untuk mencapai tingkatan Mujtahid ahli hukum harus:
a. Mengetahui ayat-ayat yang diperlukan dalam hukum; menghafalkan ayat-ayat tersebut tidak disyaratkan.
b. mengetahui jalan masuk pada literatur hadith yang relevan.
c. mengetahui substansi karya-karya furu>’ dan hal-hal yang telah disepakati (ijma>’), sehingga ia tidak menyimpang dari hukum-hukum yang telah mapan. Jika ia tidak memenuhi syarat ini ia harus menjamin bahwa pendapan hukum yang ia temukan tidak bertentangan dengan pendapat hukum seorang ahli hukum terkemuka.
d. mengetahui metode-metode pengambilan dalil hukum dari teks.
e. mengetahui bahasa Arab; penguasaan lengkap tentang prinsip-prinsipnya tidak disyaratkan.
f. mengetahui ketentuan-ketentuan yang mengatur naskh. Bagaimanapun juga seorang ahlihukum tidak perlu mengenal secara mendalam terhadapdoktrin-doktrin ini; cukuplah ia menunjukkan bahwa suatu ayat atau hadith yang dipakai tidak dicabut.
g. meneliti keotentikan hadis. Jika hadis telah diterima oleh kaum muslimin sebagai dapat dipercaya, maka ia tidak dipertanyakan lagi. Jika periwayatnya dikenal jujur, maka seluruh hadis yang diriwayatkanya diterima. Pengetahuan ilmu kritik hadis tidak disyaratkan.
Syarat-syarat tersebut menurut al-Gazaly, dituntut dari pada ahli hukum yang bermaksud untuk melakukan ijtihad pada lapangan-lapangan hukum substantif. Orang-orang yang ingin mempraktekkan ijtihad di dalam satu wilayah misalnya hukum keluarga atau hanya padasatu kasus, katakanlahg kasus prceraian, tidak perlu memenuhi semua syarat tersebut, tetapi sebagai gantinya ia dituntut untuk mengetahui prinsip-prinsip metodologis dan materi tekstual yang diperlukan untuk memecahkan problem particular tersebut.
Mengenai syarat seorang mujtahid, para ulama, memang pada dasarnya masih berbeda pendapat tentang syarat-syarat Mujtahid. Ada yang memberikan syarat-syarat yang sangat berat, seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal yang mensyaratkat pengetahuan hadis, disamping harus hafal al-Quran, minimal harus hafal 500.000 hadis. Ada juga yang meringanklan syarat-syaratnya, lebih-lebih pada saat sekarang ini. Misalnya tidak perlu hafal al-Quran, karena sudah ada kitab al-Mu’jam al-Mufahras .
2. Tajzi'at al-ijtihad
Mayoritas ahli hukum sependapat dengan tajzi'at al-ijtihad, yakni membolehkan seorang faqih untuk melakukan ijtihad dalam bidang hukum tertentu ketika ia tidak dibekali untuk melakukan ijtihad didalam bidang yang lainnya. Seorang faqih yang menguasai persoalan waris dan menguasai ilmu hitung bias melakukan ijtihad dalam bidang warisan, meskipun pada saat yang sama ia sama sekali tidak mampu melakukan ijtihad dalam persoalan yang lain seperti perdagangan, hukum keluarga dan perjanjian.
Para penentang pendapat ini berpendapat bahwa membagi bidang ijtihad adalah merusak, karena sebuah kasus ijtihad mungkin berkaitan secara organis dengan kasus lain yang mungkin berada dalam sebuah bidang hukum yang hanya diketahui sedikit oleh mujtahid yang terbatas .

3. Pembentukan Lembaga Ijtihad

Pada masa-masa akhir ini, ramai dibicarakan tentang ijtihad kolektif terutama dikalangan para penulis dibidang fikih. Menurut Nadiah Syarif al-Imari, sebenarnya Ijtihad kolektif sudah dilaksanakan dalam bentuk pertemuan-pertemuan ulama sedunia, seperti yang diadakan oleh Majma’ al- Buhu>th al- Isla>miyah di Kairo, dan pertemuan serupa itu harus dihadiri oleh ulama di bidang sains sebagai penasihat serta sebagai anggota. Hal ini dasarkan bahwa putusan bersama dari para anggota yang berbeda bidang keahliannya itu lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat daripada putusan yang diambil secara sendiri-sendiri oleh anggota-anggota yang memiliki satu bidang keahlian.
Berdasarkan ketetapan muktamar yang pertama oleh Majma’ al- Buhu>th al- Isla>miyah di Kairo tersebut dikemukakan bahwa; sesungguhnya al- Kita>b dan al- Sunnah al-Nabawiyah adalah sumber pokok hukum Shar'i>, dan sesungguhnya ijtihad hukum dengan ber-istimba>t} dari kedua sumber dasar tersebut adalah hak setiap orang yang mempunyai kualifikasi untuk berijtihad. Ijtihad harus dilakukan dalam batas wilayah ijtihad dengan tujuan menjaga kemaslahatan dan menghadapi permasalahan-permasalahan yang baru. Hal itu dilakukan dengan memilih hukum-hukum yang dianggap paling tepat dari madhhab-madhhab fikih. Apabila tidak didapati ketentuan hukum berdasarkan cara itu, maka dilakukan ijtihad kolektif secara madhhaby. Kemudian bila masih tidak tidak dapat memecahkan masalah maka dilakukan ijtihad kolektif secara mutlak.
Lebih lanjut dalam muktamar itu disebutklan beberapa hal yang dibutuhkan untuk merumuskan aturan hukum ijtihad berdasarkan ijtihad kolektif yang intinya adalah sebagai berikut ;
a). Mereka yang melakukan ijtihad tergolong ahl al-ima>n, bertakwa, berpengetahuan dan juga orang yang baik, sebagai wakil dari waly al-amr muslim yang mengepalai urusan agama dan dunia. Ia juga harus orang yang bertanggung jawab dan ahli dalam melakukan ijtihad.
b). Ada sejumlah anggota yang membidangi ilmu-ilmu pengetahuan tertentu dalam bidang ilmu pengetahuan umum sebagai rujukan dalam masalah yang pemecahannya membutuhkan kekhususan mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"… maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui'.

c). Ketika terjadi ikhtila>f pendapat di antara para mujtahid, maka diambil pendapat mayoritas, karena hal itu lebih mendekati kepada kebenaran.
d). Waliy al-Amr (Kepala Negara atau permerintah), memasukkan pendapat yang disepakati dalam kategori masalah-masalah sosial yang umum sehingga mempunyai sifat atau daya yang mengikat.

Dewasa ini, sebenarnya yang paling diperlukan sedunia bukanlah lembaga Ijtihad kolektif yang bersifat internasional, tetapi lembaga kolektif yang bersifat nasional. Sebab, masalah-masalah keagamaan yang muncul di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak sama, di samping beragamnya penafsiran dan pengamalan agama di Negara-negara Islam yang beraneka ragam itu. Karena itu, yang lebih berwenang untuk mmemahami dan mencari penyelesaian atas suatu masalah, yang sesuai dengan umat Islam bersangkutan, ialah lembaga kolektif masing-masing Negara.
4. Keseragaman Hukum dalam Undang-Undang
Sistem hukum Islam pada masa pertengahan dan klasik merupakan sistem yang sangat beragam. Terdapat kerenggangan ideologis baik antara golongan Sunni sendiri dan juga dengan golongan Shi'ah. Terdapat batas-batas pemisah antara doktrin mazhab 4 di kalangan Sunni dan Shi'ah. Perbedaan tersebut jelas menuntut adanya keberlakuan hukum menurut ketentuan hukum masing-masing penganut mazhab atau sekte.
Fenomena di atas, tampak berbeda dengan keadaan pada masa kini. Dalam batas-batas nasional negeri Islam, terdapat kesatuan dalam hukum yang lebih besar dari pada masa lampau. Tentu saja keseragaman ini lahir karena adanya prinsip kodifikasi hukum yang sebagian besar sudah di capai dalam hukum keluarga, sehingga pengadilan-pengadilan telah dibatasi dengan undang-undang nasional dan tidak lagi memberikan kemungkinan untuk memilih doktrin-doktrin mazhab yang berbeda sebagimana dalam karya-karya klasik dan pertengahan. Juga tidak ada lagi anggapan bahwa aturan mazhab tertentu diberlakukan kepada orang yang menganut mazhab lain, karena undang-undang itu diterapkan kepada mereka ata daar kebangsaan menggunakan semua loyalitas keagamaan dengan tidak memandang mazhab yang dianutnya.
Keseragaman hukum tersebut melahirkan pandangan hukum Islam yang pluralistik. Hukum itu, diambil menurut prinsip seleksi dari doktrin mazhab-mazhab yang berbeda atau doktrin tradisional yang dianggap paling sesuai dengan masyarakat nasional suatu negara untuk kemudian ditulis dalam bentuk undang-undang. Secara singkat prinsip eklektik (talfi
5. Percampuran Hukum Islam dan Barat
Semenjak abad ke 19 tumbuh kontak yang semakin akrab antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Selanjutnya perkembangan hukum kebanyakan ditentukan oleh pengaruh-pengaruh baru yang kemudian mendikte Islam.
Ada dua ciri pokok aktifitas hukum modernis yang menarik perhatian. Pertama, dewasa ini hukum dalam praktek diwarnai oleh perbedaan-perbedaan yang mencolok yang menggambarkan keberagaman posisi perimbangan-perimbangan untuk melayani tarik menarik antara dua faktor dasar, yakni tuntutan-tuntutan praktis dan keharusan melaksanakan prinsip-prinsip agama. Sejak dimulainya pembaharuan hukum, dua faktor ini telah melahirkan dua kutub pemisahan yang tegas, yaitu bahwa undang-undang hukum Barat secara langsung diambil (dipraktekkan) di bidang hukum pidana dan perdata pada umumnya. Sedangkan doktrin shari’ah tradisional terus mengatur bidang hukum perorangan.
Dalam hukum perdata, prinsip-prinsip agama mulai memberikan warna. Penggabungan antara unsur-unsur luar dan unsur-unsur Islami merupakan ciri mencolok dari Undang Undang Hukum Pedata Irak tahun 1953. Banyak aturannya yang berasal dari kodifikasi hukum Hanafi, majallah dan dari teks- teks shari’ah tradisional, sementara ketentuan - ketentuan lain, seperti ketentuan-ketentuan tentang asuransi dan bidang spekulasi sepenuhnya berdasarkan hukum Eropa. Hukum keluarga makin dipengaruhi oleh kaedah-kaedah dan nilai-nilai Barat.
Dari hukum keluarga ini, bila dipandang sebagai suatu kesatuan, nampak sangat kompleks. Sebab ketika ia dikodifikasikan dalam bentuk Undang-Undang modern, hukum ini merupakan campuran antara unsur-unsur tradisional dan unsur-unsur baru. Sedangkan unsur-unsur baru ini, kadangkala merupakan hasil olahan prinsip-prinsip mapan, atau hasil suatu penafsiran baru terhadap nas}s} atau pula kadang merupakan santunan kepada kebutuhan-kebutuhan waktu. Tidak dapat dielakkan bahwa ketentuan-ketentuan baru yang lahir bisa jadi berseberanagan dengan doktrin tradisional. Terutama apabila disadari oleh kaum modernis bahwa shari’ah bisa disesuaikan dengan kebutuhan guna menopang perubahan sosial dan kemajuan masyarakat di era modern .
Sejalan dengan di atas terdapat kaidah dalam pandangan ahli hukum Islam bahwa "terdapat perubahan fatwa atau hukum yang disebabkan oleh perubahan tempat dan waktu" (تغير الفتي بتغيرالأزمنة والامكنة). Berdasarkan kaedah tersebut disyaratkan bagi seorang ahli hukum Islam untuk mengetahui kebiasan-kebiasan yang berkembang dalam masyarakat dan tidak boleh berfatwa dengan hal yang menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan itu. Di samping itu, harus dipahami bahwa suatu hukum yang berlaku pada masa yang lalu bisa jadi tidak dapat dipraktekkan dalam masa yang lain, atau negara yang lain yang mempunyai perbedaan adat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Masa Islam keemasan Islam, terjadi pada periode awal Islam. Periode ini sering dikenal dengan periode Ijtihad. Segera setelah adanya anggapan tertutupnya Ijtihad (walaupun masih menuai pro dan kontra dan dibuktikan oleh ulama bahwa ijtihad tidak tertutup), Islam mengalami masa kemunduran dengan adanya stagnasi pemikiran, khususnya dalam kajian fikih.
Ulama dewasa ini, berusaha kembali menghidupkan semangat ijtihad dengan memberi keringan prihal syarat-syarat mujtahid, yang pada mulanya begitu ketat, dan tidak tersentuh sehingga membuat para ahli hukum mustahil untuk melakukan ijtihad. Dilain itu, dilatar belakangi oleh spesialisasi ilmu pengetahuan saat ini, usaha pembentukan lembaga ijtihad kolektif juga mereka lakukan.








DAFTAR PUSTAKA

Azizy, A. Qodri. Reformasi Bermazhab; Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern. Jakarta: Teraju, 2003.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Bi>k, Muhammad Khudary. Us}u>l Fiqh. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981.
Coulson, Noel J. Konflik dalam Yurisprudensi Islam. Yogyakarta: Navila, 2001
Dahlan, Zaini. Ijtihad suatu Kontroversi; Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997.
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahannya.
Hallaq, Wael B. Melacak Akar-Akar Kontroversi Dalam Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: Srikandi, 2005.
----- Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Hosen, Ibrahim. Et al. Ijtihad Dalam Sorotan. Mizan: Bandung.
http://nurulwatoni.tripod.com/Pendekatan_Ilmu_Keislaman.htm
Mubarok, Jaih. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fiqih Umat Islam: Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Al-'Umry, Nadiyah Sharif. al-Ijtihad fy al-Isla>m; Ushuluh-Ahkamuh-Afaquh. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2001.
Yusdani, Amir Mu’allim. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Zuhdi, Ahmad. Fiqh Moderat; Menyikapi Khilafiyah Masalah Fiqh. Sidoarjo: Muhammadiyah University Press, 2007.