Minggu, 17 Agustus 2008

Neo-Ijtihad

BAB I
PENDAHULUAN
Secara historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada masa Nabi saw, sahabat dan tabi’in serta masa generasi selanjutnya. Beberapa riwayat hadis yang cukup dikenal, membuktikan bahwa ijtihad telah ada sejak masa awal Islam, diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh 'Amr Ibn al-‘Ash, yaitu bahwasannya ia mendengar dari Rasulullah saw. Bersabda: “Apabila seorang Hakim hendak menetapkan suatu hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, msaka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum lalu berijtihad kemudian ijtihadnya itu salah maka baginya satu pahala”.
Pada periode awal Islam ini, atau yang disebut dengan periode Ijtihad, Islam menemukan masa keemasannya dengan adanya kemajuan di berbagai bidang khususnya fikih. Namun, segera setelah masa kejayaannya, dunia Islam mengalami kemunduran karena stagnasi pemikiran yang dilatar belakangi oleh anggapan tertutupnya pintu Ijtihad.
Anggapan tertutupnya ijtihad ini, biasanya diberi arti dengan berubah menjadi perwujudan taklid dalam pelaksanaan hukum Islam. padahal beberapa bukti juga menunjukkan bahwa aktivitas para ulama berikutnya justru tidak kalah kreatif ketimbang aktivitas ulama pendahulunya . Beberapa bukti menunjukkan bahwa seorang ulama dengan begitu mudah berbeda pendapat dengan pendapat imam madhhab yang dianutnya, walaupun ia memiliki komitmen untuk terikat dengan madhhab itu . Oleh karena itu bermadhhab pada dasarnya tidak identik dengan mempraktekkan taqlid dan lebih dari itu, anggapan mengenai tertutupnya ijtihad harus dikaji ulang.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Periode Taklid dan Kemunduran Islam
Secara umum terdapat dua ciri yang cukup dominan yang menjadi tanda kemunduran fikih Islam, yaitu taklid dan tertutupnya ijtihad: kedua hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
1. Sebab-sebab Taklid
Secara umum keterpaksaan tektual terjadi akibat hilangnya kebebasan berfikir. Farouk Abu Zaid berpendapat bahwa kebebasan berfikir hilang antara lain disebabkan oleh pemaksaan penggunaan aliran atau madhhab tertentu oleh pihak penguasa, seperti khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tas}im, dan al-Wathiq yang memaksakan Muktazilah kepada Ulama .
Menurut Sulaiman al-Asyqar, hal- hal yang menyebabkan taklid antara lain adalah sebagai berikut:
a. Adanya penghargaan yang berlebihan kepada Guru. Hal ini tercermin dalam anggapan bahwa setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu madhhab dan diharamkan keluar dari madhhab yang dianutnya itu. Selain itu, diharamkan pula mengambil pendapat selain dari pendapat Imam yang dianutnya.
b. Banyaknya Kitab Fikih, sehingga menyebabkan para ulama disibukkan dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih tersebut, seperti membuat ringkasan, penjelasan (Sharh}), serta penjelasan atas penjelasan (Hashiyah). Dan untuk selanjutnya mereka harus terpaku terhadap kitab tersebut dalam menghafal, menjaga isi serta cara-cara yang ditempuh oleh kitab itu.
c. Melemahnya Daulah Islamiyah yang berarti melemahnya dukungan terhadap pengembangan Ilmu.
d. Adanya Anjuran Sultan untuk mengikuti aliran yang dianutnya.
e. Adanya keyakinan sebagian Ulama yang beranggapan bahwa setiap pendapat Imam sejajar dengan Sejajar dengan Shari’at.
Sementara itu Jaih Mubarok, Mengungkapkan bahwa taklid itu terjadi karena dua hal: Pertama, keterbelengguan pemikiran sehingga ulama lebih suka mengikatkan diri dengan aliran fikih tertentu; dan kedua, karena ulama kehilangan kepercayaan diri untuk berdiri sendiri yang didasarkan pada anggapan bahwa ulama pendiri madhhab itu lebih cerdas dan pintar dari diri mereka .
Salah satu dampak keterbelengguan akal dan pikiran adalah timbulnya pendapat ulama yang memandang bahwa pendapat para Imam Madhhab sepadan dengan nas}s} al-Qur’an dan al-Sunnah yang tidak dapat diubah dan digugat. Misalnya saja ‘Ubaid al- Karkhi (w.349), salah seorang ulama madhhab Hanafi yang pernah berkata: “Setiap ayat al-Quran dan Hadis yang bertentangan dengan Madhhab Hanafi dapat ditakwilkan atau dinaskh-kan.” Imam Iya>d} juga pernah berkata,”Bagi yang taklid kedudukan Imam madhhabnya dinilai sejajar dengan al-Qur’an dan Sunnah”.
Inilah yang mendasari bahwa pengelompokan para ulama ke dalam madhhab, menurut Coulson, dilatar belakangi oleh fanatisme seorang murid terhadap seorang ahli hukum terkemuka, sehingga terdapat pengkultusan tokoh di dalamnya dan murid itu harus menyesuaikan diri dengan kelompok serta memuji otoritas pimpinannya. Pengkultusan tokoh ini berkembang sedemikian rupa meskipun para pemimpin itu sendiri selalu menekankan kreatifitas dan kebebasan individu serta kemungkinan salah atas ajaran yang mereka terapkan. Sebagai contoh, Imam Shafi'i>, secara konsisten tidak mengakui ide madhhab hukum baru didasarkan atas penerimaan ajarannya secara pasif. Untuk lebih jelasnya berikut kami uraikan beberapa pernyataan dari para Imam Madhhab yang menekankan kreatifitas bukan kepada taklid;
1). Imam H}anafi>
إنْ كان قَوْلي يخالفُ كِتابَ الله وخَبَرَ رسولهِ فَاتْركُوا قَوْلي
" Bila perkataanku menyalahi Kitab (al-Qur'an) dan Hadis Rasul-Nya, maka tinggalkanlah olehmu perkataanku"

2). Imam Ma>lik
إنمّا أنا بشَرٌ أُخْطِئُ وأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فيِ رَأْيِي فكلُّ مَا وَافقَ الكتابَ والسُّنّةَ فخُذُوهُ وكلُّ مالم يُوافِقْ فاتْركُوا
"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang bisa salah dan benar. Maka, perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab (al-Qur'an) dan al-Sunnah, ambillah dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah" .

كلُّنا رادّ ٌ ومردودٌ إلّا صاحبَ هذا القَبْرِ يعني النّبي صلى الله عليه وسلَّم
"Masing-masing kita menolak dan tertolak, kecuali orang yang menghuni kubur ini, yaitu Nabi saw" .

3). Imam Sha>fi'i>
إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابي خِلافَ سنّةِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فقُوْلُوْا بِسُنّةِ رسولِ الله صلى الله عليه وسلَّم ودَعُوْا ما قُلْتُ
"Apabila kamu menemukan dalam kitabku yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw. Maka, berkatalah dengan sunnah Rasulullah saw., dan tinggalkanlah pendapatku" .

مثلُ اللّذِيْنَ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بلا حُجَّةٍ كمثلِ حاطِبِ ليْلٍ يَحْمِلُ حِزْمَةً وفيه أَفْعَى تَلْدَفُهُ وهوَ لَايَدْرِيْ
"Perumpamaan orang yang mencari suatu ilmu tanpa alasan seperti orang yang mencari kayu bakar di waktu malam yang membawa satu ikatan kayu, sedang di dalamnya terdapat seekor ular yang akan mematuknya sementara dia tidak tahu" .

4). Imam Ibn H}anbal
لاتُقَلّدُني ولَاتُقلِّدُ مالكًا ولاثَوْرِي ولا أَوْزَعِي وخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا
"Jangan engkau bertaklid kepadaku, dan jangan bertaklid kepada imam Malik, jangan kepada Thaury dan juga terhadap Auza'i>. Ambillah dari dari pada yang mereka ambil" .

Akan tetapi kesetiaan para, muridnya telah melahirkan madhhab hukum baru yaitu madhhab Shafi'i> setelah Shafi'i> wafat tahun 820.
Pengelompokan madhhab serta pengkultusan ini pula yang melahirkan persaingan di antara mereka. Tetapi sejak abad ke-9, para pengikut madhhab mendukung sautu teori umum yang secara prinsip sama menyangkut sumber hukum, dan dengan adanya tujuan yang sama, maka persaingan awal yang terjadi di antara mereka lambat laun memudar dan hidup berdampingan secara damai dengan menganggap doktrin mereka sama-sama sah untuk menetapkan hukum Tuhan.
Dengan demikian, doktrin fuqaha pada awalnya mncul dengan otoritas yang mereka sendiri tidak pernah mengklaim untuk itu. Kemudian, pada awal abad ke-10 M. nampak bahwa hasil-hasil awal ahli hukum telah dianggap matang dan tuntas. Karenanya ijtihad setelah itu boleh jadi tidak ada manfaatnya. Pada fase inilah dikenal bahwa pintu ijtihad telah tertutup.

2. Tertutupnya Pintu Ijtihad
Sebagamana dipahami bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum Syara’ . Dalam arti luas atau umum menurut Harun Nasution, ijtihad juga digunakan dalam bidang selain hukum Islam. Aktifitas Ijtihad ini diasumsikan oleh beberapa sarjana Modern telah terhenti pada akhir abad ketiga, berdasarkan kesepakatan ahli hukum muslim sendiri. Proses ini, dikenal sebagai “tertutupnya pintu Ijtihad” .
Berbeda menurut pendapat diatas menurut sebagian ulama, yang dikutip oleh Muhammad ‘Aly Sayyis, anggapan ijtihad tertutup muncul pada abad ke IV H. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Ibn Jari>r al-Ta}bary (w. 310 H.), merupakan ulama mujtahid mustaqil terakhir. Setelahnya ulama mengikatkan diri pada aliran fikih tetentu .
J.N.D. Coulson menyatakan, sebagaimana beberapa tokoh lain, bahwa sekitar abad ketiga umum diterima bahwa pintu Ijtihad telah tertutup. H.A.R. Gibb, menguatkan dengan menyatakan bahwa para ulama Muslim awal menegaskan bahwa pintu Ijtihad telah tertutup dan tidak akan dibuka lagi .
Mengenai penutupan pintu ijtihad ini, pada dasarnya menuai pro dan kontra. Beberapa ulama menganggap bahwa tertutupnya ijtihad karena para mujtahid telah habis sehingga ijtihad tidak dapat dilakukan lagi. Lebih dari itu, sebagaimana di dalam karya-karya hukum Muslim, bahwa syarat-syarat ijtihad yang telah ditetapkan telah membuat para ahli hukum mustahil untuk melakukan ijtihad. Hal tersebut disebabkan karena kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan untuk mempraktekkan ijtihad, telah dibuat sedemikian rupa, tidak ternoda, ketat, dan ditetapkan sedemikian tinggi sehingga hal itu secara manusiawi mustahil untuk dipenuhi .
Sementara itu, berbeda dengan pendapat diatas, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa jika praktek ijtihad adalah tujuan utama dari metodologi dan teori Us}u>l fiqh selama perjalanan sejarah Islam, pertanyaan yang bisa diajukan adalah dalam cara apa pintu ijtihad dipandang telah tertutup?
Para Ulama Hambali berpendapat bahwa tidak suatu masa pun berlalu di dunia ini, kecuali di dalamnya ada orang yang mampu berijtihad. Dengan adanya orang tersebut agama akan terjaga dan upaya-upaya mengacaukan agama pun akan dapat dicegah . Abu Zahrah berkata: “Kita tidak tahu siapa yang menutup pintu ijtihad”. Jika ada orang berkata: “pintu ijtihad telah tertutup, mana dalilnya?”
Pendapat di atas, bisa dibilang merupakan penolakan terhadap anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Pendapat diatas bukan tidak berdasar, sebagai mana disimpulkan oleh Hallaq, bahwa selama 5 abad pertama Islam, aktifitas ijtihad tidak terhenti baik pada tataran praktis maupun teoritis dan bahwa gagasan mengenai insida>d ba>b al-Ijtiha>d, atau ungkapan yang mungkin bersinggungan dengan gagasan penutupan Ijtihad, tidak pernah terjadi pada kaum muslim. Mengenai hal ini terdapat suatu perdebatan diantara ulama klasik mengenai apakah pintu Ijtihad tertutup itu tertutup atau tidak, yang kami kutip sebagai berikut:
“Seorang ahli pengikut Madhhab Abu Hanifah bertanya, “Dimanakah para Mujtahid?” (persoalan ini menutup Pintu Ijtihad (bab al-qada’). Seorang pengikut Hambali (Ibn ‘Aqil) dengan tangkas merespon dengan tiga jawaban pasti, pertama, ia berargumentasi bahwa “jika pintu peradilan ditutup sebab seorang hakim dituntut berkualifikasi Mujtahid, sehingga pintu Ijtihad (juga) ditutup sebab anda mengklaim bahwa putusan (hukum) seorang hakim non-Mujtahid adalah tidak valid sampai dikukuhkan oleh seorang mujtahid, jika anda mengklaim bahwa para mujtahid tidak ada dan jika anda memerlukan seorang mujtahid untuk membimbing para hakim dan jika anda tidak memandang putusan-putusan hukum pada saat ini tidak valid…maka mujtahid yang anda perlukan untuk mengesahkan putusan non-mujtahid menyalahi klaim anda mengenai tidak eksisnya mujtahid…”

Meskipun tertutupnya pintu Ijtihad masih diperdebatkan, namun konteks sejarah menyebutkan bahwa anggapan tertutupnya pintu Ijtihad tidak hanya menimbulkan kemandekan dan kemunduran Islam tetapi lebih dari itu mengakibatkan klaim madhhab yang paling benar oleh masing-masing pengikutnya. Kondisi semacam itu tenntu saja melahirkan ketidak harmonisan di kalangan umat Islam, sebab dalam sejarah umat Islam trdapat banyak aliran. Rasa saling menghormati dikalangan ulama yang berkembang sebelumnya digantikan dengan kebiasaan saling menghina. Sebagaimana Imam Shafi’I pernah berkata” Dalam bidang fikih manusia berutang budi kepadaAbu Hanifah. Imam Malik pernah memuji Abu Hanifah,” Aku tidak pernah melihat ulama yang lebih pandai dari Abu Hanifah”. Imam Shafi’I pernah memuji Imam Malik dan Sufyan Ibn Uyaynah, “Kalau saja tidak ada Imam Malik dan Imam Sufyan, Ilmu Hijaz pasti hilang” .
Saling menghormati dan memuji seperti yang tercermin di atas, digantikan oleh kegiatan saling mencaci atau menghina. Para pengikut Abu Hanifah menjelaskan riwayat dan kepandaian Abu Hanifah, untuk mempertinggi derajat Abu Hanifah, mereka berkata, “Imam Shafi’I bukan keturunan Quraish, tetapi keturunan budak Quraish.” Para pengikut Imam Malik berkata, “Imam Shafi’I adalah pembantu Imam Malik’. Para pengikut Imam Shafi’I berkata, Ahmad Ibn Hanbal adalah Pembantu Imam Shafi’i.
Sekali lagi bahwa selama ini kita terima pengertian bermadhhab adalah mengikuti pendapat-pendapat Fuqaha’ yang telah mengklaim diri mereka sebagai pengikut salah satu Imam Madhhab. Kalau kita datau menganggap diri kita sebagai pengikut madhhab al-Shafi’I, maka kita harus mengikuti pendapat fuqaha’ tersebut (yang pada umumnya masa mereka sangat jauh dari imam madhhab itu sendiri) dengan merujuk kepada kitab-kitab mereka. Sedangkan kitab-kitab karya imam pendiri madhhabnya, dalam contoh ini adalah imam Shafi’I itu sendiri, jarang atau hampir tidak pernah dijadikan rujukan secsara langsung. Bahkan karya para murid Shafi’I juga tidak pernah dijadikan rujukan .

B. Latar belakang Munculnya Neo Ijtihad Modern
Sebagaimana diketahui bahwa dalam sejarah Islam terdapat sebuah anggapan yang menyatakan bahwa ijtihad telah tertutup. Generasi ahli hukum berikutnya tidak lagi mempunyai hak penyelidikan yang independen dan bahkan diikat oleh prinsip taklid kepada doktrin pendahulunya . Dapat disimpulkan bahwa anggapan ini berakibat besar dalam dunia pemikiran Islam, sehingga menimbulkan taklid yang mengarah pada klaim madhhab yang paling benar serta kemunduran Islam dalam berbagai bidang. Sementara itu bangsa Eropa yang mengambil alih jiwa Ijtihad mengalami kemajuan pesat.
Ketika bagian-bagian kebudayaan Eropa yang dihasilkan oleh jiwa Ijtihad masuk ke dalam Dunia Islam, para Ulama itu sadar, bahwa untuk mengatasi kemunduran umat Islam, pintu Ijtihad yang dikatakan sudah tertutup itu, harus dibuka. Seiring dengan dibukanya kembali pintu ijtihad itu, bermuncullah pemimpin-pemimpin pembaharuan seperti, al-Tahawi, Jamal al-Di>n al-afghani>, Muhammad Abduh, yang menjelaskan bahwa pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Dalam buku tafsirnya al-Manar, Muhammad abduh mengkritik orang yang membunuh Ijtihad dan yang melarang orang lain berijtihad. Sedangkan al-Tahtawi, dalam bukunya, al-Qaul al-Sadi>d al-Ijtihad>d wa al-Taqli>d, menjelaskan bahwa ijtihad perlu diadakan untuk menghadapi problem yang timbul di zaman modern.
Dewasa ini pendapat umum di dunia Islam mengakui terbukanya pintu ijtihad. Namun, kenyataannya sedikit sekali ijtihad yang dilakukan oleh para ulama. Dengan kata lain tidak banyak ulama yang memasuki pintu itu. Salah satu sebabnya adalah ialah pelik dan kompleksnya masalah-masalah keagamaan yang dimunculkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Masalah-masalah yang dihadapi oleh ulama abad kesembilan belas, apalagi abad ke dua puluh, jauh berbeda dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh ulama Mujtahid sepuluh abad yang lalu. Pada masa itu, selain ilmu dan teknologi pesat seperti sekarang, seorang ulama sanggup menguasai berbagai macam ilmu yang ada pada zamannya, sehingga mereka mampu secara individual melakukan ijtihad dengan baik.
Sedangkan pada abad sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi telah demikian berkembang, sehingga tidak mungkin lagi bagi seorang ulama untuk menguasai berbagai bidang ilmu, dan spesialisasi pun telah berkembang pada berbagai cabang ilmu.
Pengetahuan ulama banyak dibatasi oleh bidang spesialisasinya, sedangkan masalah-masalah yang dihadapinya selalu berkembang dan sedemikian kompleks. Misalnya, masalah KB berkaitan erat dengan ilmu kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu kedokteran, ilmu jiwa dan ilmu-ilmu lain, di samping tentu saja ilmu keagamaan. Karena itu, di zaman Modern ini ijtihad Individual seringkali tidak mampu memecahkan permasalah yang ada . Atas dasar itulah, para ulama berusaha menggalakkkan ijtihad dengan mengurangi keketatan syarat-syarat ijtihad dan membentuk lembaga ijtihad yang beranggotakan dari berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu: agama, ekonomi, politik, teknologi, kedokteran, hukum dan sebagainya. Dengan demikian satu masalah dapat terpecahkan dan dapat ditinjau dari berbagai aspek .
Hampir sejalan dengan pendapat di atas yaitu pendapat Coulson yang mengemukakan bahwa ketika keadaan masyarakat telah berkembang dan senantiasa berubah maka hukum yang sudah tetap sebelumnya mulai dipertanyakan otoritasnya. Hal itulah yang terjadi dalam hukum Islam. Meskipun tidak ada dorongan sosial yang riil untuk menentang otoritas kitab-kitab hukum sebelumnya, akan tetapi tatkala masyarakat Islam menerima nilai-nilai dan ukuran-ukuran tingkah laku yang berbeda, doktrin tradisional semakin dipertanyakan begitu juga menyangkut prinsip taklid, sebagaimana para ulama dan pemikir muslim kaliber M. Abduh di Mesir dan Iqbal di India secara terang-terangan menolak doktrin taklid. Tentu saja tradisi hukum tradisional tidak akan dibuang begitu saja .
Pada tahap inilah menurut Coulson muncul neo-ijtihad dengan interpretasi independen tentang teks wahyu Tuhan. Hasil-hasil pendekatan baru muncul di berbagai wilayah. Di Syiria, misalnya, diundangkan dalam undang-undang hukun Syiria tahun 1953 pasal 117 bahwa dalam masalah perceraian bahwa seorang suami yang mentalak isterinya tanpa sebab yang masuk akal dan isteri menderita kerugian material, maka pengadilan dapat menyuruh suami itu membayar ganti kerugian isteri .
Dilain itu, hukum status personal Tunisia 1957, secara singkat menyatakan : "perceraian di luar pengadilan sama sekali tidak mempunyai efek hukum." Seorang suami yang ingin mentalak isterinya harus hadir di hadapan pengadilan dan pengadilan akan mengeluarkan putusan perceraian tersebut jika suami tetap pada pendiriannya. Pengadilan juga diberi wewenang apakah suami akan membayar ganti rugi kepada isteri. Dengan demikian pembayaran ganti rugi diberikan tanpa suatu batas yang ditentukan oleh hukum.
Untuk memperkuat inovasi ini, disebutkan bahwa talaq hanya efektif bila melalui proses pengadilan. Para ahli hukum Tunisia mendasarkan pada ayat Qur'an yang menyatakan: "apabila perselisihan muncul di antara suami isteri, maka angkatlah penengah." Tampaknya inovasi ahli hukum Tunisia inilah yang menginspirasi para ahli hukum di Indonesia untuk menerapkan hukum yang sama prihal hukum personal ini.
Lebih lanjut pengadilan menurut hukum Tunisia, akan mengabulkan permohonan cerai dalam tiga keadaan prinsip; pertama, salah satu pihak mampu menghadirkan suatu dasar yang diakui untuk terputusnya perkawinan di pengadilan; seperti sakit fisik, mental, atau pelanggaran perkawinan. Kedua, jika suami-isteri saling menyetujui untuk bercerai. Ketiga, jika salah satu pihak tetao menuntut untuk bercerai, dan pihak pengadilan menetapkan ganti rugi yang pantas yang harus dibayar .
Berdasarkan uraian tersebut, secara singkat dapat di mengerti bahwa hukum Tunisia saat ini, meletakkan isteri dalam perkara perceraian di atas dasar yang sama dengan suami. Inilah merupakan langkah revolusioner yang dilakukan ahli hukum Tunisia. Lebih dari itu menurut Coulson, "tidak ada hukum perceraian modern sekarang ini yang lebih positif dan tegas dari pada kitab undang-undang hukum Tunisia.
C. Dampak Kemunculan Neo-Ijtihad Modern
Sebagaimana disebutkan di atas, mengenai dampak kemunculan neo-Ijtihad, terutama dalam hukum Syiria dan Tunisia, melalui pendekatan-pendekatan baru yang independen. Beberapa pendekatan lain yang baru juga dilakukan oleh para ahli hukum Islam diantaranya dengan memberi keringanan terhadap syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mujtahid, tajzi'at al-ijtihad, membentuk lembaga ijtihad, penyeragaman hukum dan juga melakukan percampuran hukum Islam dengan Barat. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

1. Kualifikasi Mujtahid
Adanya anggapan mengenai syarat mujtahid abad klasik, yang tidak dapat tersentuh karena sedemikian ketat memunculkan beberapa langkah yang ditempuh oleh para ahli hukum Islam untuk mengurangi keketatan syarat-syarat kualifikasi seorang mujtahid.
Muhammad Ibn Aly al-Basry, misalnya mencontohkan dalam bidang waris, mengemukakan, kapanpun seorang ahli hukum mampu mempraktekkan ijtihad dalam suatu kasus waris meskipun ia tidak memiliki akses untuk mengetahui aturan-aturan positif (furu>’) yang telah menjadi ijma’, ia masih diperkenankan untuk melakukan hal itu. Menurut al-Basry, hal tersebut dapat diperkenankan berdasarkan alasan bahwa prinsip prinsip metodis dan subyek materi tekstual yang berhubungan dengan waris adalah independent dari wilayah hukum lain. Sebaliknya ahli hukum lain tidak mengupayakan ijtihad di wilayah hukum lain sampai ia melengkapi dirinya dengan alat-alat yang diperlukan .
Ghazaly , ketika membahas tentang tentang syarat-syarat ijtihad, menegaskan bahwa untuk mencapai tingkatan Mujtahid ahli hukum harus:
a. Mengetahui ayat-ayat yang diperlukan dalam hukum; menghafalkan ayat-ayat tersebut tidak disyaratkan.
b. mengetahui jalan masuk pada literatur hadith yang relevan.
c. mengetahui substansi karya-karya furu>’ dan hal-hal yang telah disepakati (ijma>’), sehingga ia tidak menyimpang dari hukum-hukum yang telah mapan. Jika ia tidak memenuhi syarat ini ia harus menjamin bahwa pendapan hukum yang ia temukan tidak bertentangan dengan pendapat hukum seorang ahli hukum terkemuka.
d. mengetahui metode-metode pengambilan dalil hukum dari teks.
e. mengetahui bahasa Arab; penguasaan lengkap tentang prinsip-prinsipnya tidak disyaratkan.
f. mengetahui ketentuan-ketentuan yang mengatur naskh. Bagaimanapun juga seorang ahlihukum tidak perlu mengenal secara mendalam terhadapdoktrin-doktrin ini; cukuplah ia menunjukkan bahwa suatu ayat atau hadith yang dipakai tidak dicabut.
g. meneliti keotentikan hadis. Jika hadis telah diterima oleh kaum muslimin sebagai dapat dipercaya, maka ia tidak dipertanyakan lagi. Jika periwayatnya dikenal jujur, maka seluruh hadis yang diriwayatkanya diterima. Pengetahuan ilmu kritik hadis tidak disyaratkan.
Syarat-syarat tersebut menurut al-Gazaly, dituntut dari pada ahli hukum yang bermaksud untuk melakukan ijtihad pada lapangan-lapangan hukum substantif. Orang-orang yang ingin mempraktekkan ijtihad di dalam satu wilayah misalnya hukum keluarga atau hanya padasatu kasus, katakanlahg kasus prceraian, tidak perlu memenuhi semua syarat tersebut, tetapi sebagai gantinya ia dituntut untuk mengetahui prinsip-prinsip metodologis dan materi tekstual yang diperlukan untuk memecahkan problem particular tersebut.
Mengenai syarat seorang mujtahid, para ulama, memang pada dasarnya masih berbeda pendapat tentang syarat-syarat Mujtahid. Ada yang memberikan syarat-syarat yang sangat berat, seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal yang mensyaratkat pengetahuan hadis, disamping harus hafal al-Quran, minimal harus hafal 500.000 hadis. Ada juga yang meringanklan syarat-syaratnya, lebih-lebih pada saat sekarang ini. Misalnya tidak perlu hafal al-Quran, karena sudah ada kitab al-Mu’jam al-Mufahras .
2. Tajzi'at al-ijtihad
Mayoritas ahli hukum sependapat dengan tajzi'at al-ijtihad, yakni membolehkan seorang faqih untuk melakukan ijtihad dalam bidang hukum tertentu ketika ia tidak dibekali untuk melakukan ijtihad didalam bidang yang lainnya. Seorang faqih yang menguasai persoalan waris dan menguasai ilmu hitung bias melakukan ijtihad dalam bidang warisan, meskipun pada saat yang sama ia sama sekali tidak mampu melakukan ijtihad dalam persoalan yang lain seperti perdagangan, hukum keluarga dan perjanjian.
Para penentang pendapat ini berpendapat bahwa membagi bidang ijtihad adalah merusak, karena sebuah kasus ijtihad mungkin berkaitan secara organis dengan kasus lain yang mungkin berada dalam sebuah bidang hukum yang hanya diketahui sedikit oleh mujtahid yang terbatas .

3. Pembentukan Lembaga Ijtihad

Pada masa-masa akhir ini, ramai dibicarakan tentang ijtihad kolektif terutama dikalangan para penulis dibidang fikih. Menurut Nadiah Syarif al-Imari, sebenarnya Ijtihad kolektif sudah dilaksanakan dalam bentuk pertemuan-pertemuan ulama sedunia, seperti yang diadakan oleh Majma’ al- Buhu>th al- Isla>miyah di Kairo, dan pertemuan serupa itu harus dihadiri oleh ulama di bidang sains sebagai penasihat serta sebagai anggota. Hal ini dasarkan bahwa putusan bersama dari para anggota yang berbeda bidang keahliannya itu lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat daripada putusan yang diambil secara sendiri-sendiri oleh anggota-anggota yang memiliki satu bidang keahlian.
Berdasarkan ketetapan muktamar yang pertama oleh Majma’ al- Buhu>th al- Isla>miyah di Kairo tersebut dikemukakan bahwa; sesungguhnya al- Kita>b dan al- Sunnah al-Nabawiyah adalah sumber pokok hukum Shar'i>, dan sesungguhnya ijtihad hukum dengan ber-istimba>t} dari kedua sumber dasar tersebut adalah hak setiap orang yang mempunyai kualifikasi untuk berijtihad. Ijtihad harus dilakukan dalam batas wilayah ijtihad dengan tujuan menjaga kemaslahatan dan menghadapi permasalahan-permasalahan yang baru. Hal itu dilakukan dengan memilih hukum-hukum yang dianggap paling tepat dari madhhab-madhhab fikih. Apabila tidak didapati ketentuan hukum berdasarkan cara itu, maka dilakukan ijtihad kolektif secara madhhaby. Kemudian bila masih tidak tidak dapat memecahkan masalah maka dilakukan ijtihad kolektif secara mutlak.
Lebih lanjut dalam muktamar itu disebutklan beberapa hal yang dibutuhkan untuk merumuskan aturan hukum ijtihad berdasarkan ijtihad kolektif yang intinya adalah sebagai berikut ;
a). Mereka yang melakukan ijtihad tergolong ahl al-ima>n, bertakwa, berpengetahuan dan juga orang yang baik, sebagai wakil dari waly al-amr muslim yang mengepalai urusan agama dan dunia. Ia juga harus orang yang bertanggung jawab dan ahli dalam melakukan ijtihad.
b). Ada sejumlah anggota yang membidangi ilmu-ilmu pengetahuan tertentu dalam bidang ilmu pengetahuan umum sebagai rujukan dalam masalah yang pemecahannya membutuhkan kekhususan mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"… maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui'.

c). Ketika terjadi ikhtila>f pendapat di antara para mujtahid, maka diambil pendapat mayoritas, karena hal itu lebih mendekati kepada kebenaran.
d). Waliy al-Amr (Kepala Negara atau permerintah), memasukkan pendapat yang disepakati dalam kategori masalah-masalah sosial yang umum sehingga mempunyai sifat atau daya yang mengikat.

Dewasa ini, sebenarnya yang paling diperlukan sedunia bukanlah lembaga Ijtihad kolektif yang bersifat internasional, tetapi lembaga kolektif yang bersifat nasional. Sebab, masalah-masalah keagamaan yang muncul di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak sama, di samping beragamnya penafsiran dan pengamalan agama di Negara-negara Islam yang beraneka ragam itu. Karena itu, yang lebih berwenang untuk mmemahami dan mencari penyelesaian atas suatu masalah, yang sesuai dengan umat Islam bersangkutan, ialah lembaga kolektif masing-masing Negara.
4. Keseragaman Hukum dalam Undang-Undang
Sistem hukum Islam pada masa pertengahan dan klasik merupakan sistem yang sangat beragam. Terdapat kerenggangan ideologis baik antara golongan Sunni sendiri dan juga dengan golongan Shi'ah. Terdapat batas-batas pemisah antara doktrin mazhab 4 di kalangan Sunni dan Shi'ah. Perbedaan tersebut jelas menuntut adanya keberlakuan hukum menurut ketentuan hukum masing-masing penganut mazhab atau sekte.
Fenomena di atas, tampak berbeda dengan keadaan pada masa kini. Dalam batas-batas nasional negeri Islam, terdapat kesatuan dalam hukum yang lebih besar dari pada masa lampau. Tentu saja keseragaman ini lahir karena adanya prinsip kodifikasi hukum yang sebagian besar sudah di capai dalam hukum keluarga, sehingga pengadilan-pengadilan telah dibatasi dengan undang-undang nasional dan tidak lagi memberikan kemungkinan untuk memilih doktrin-doktrin mazhab yang berbeda sebagimana dalam karya-karya klasik dan pertengahan. Juga tidak ada lagi anggapan bahwa aturan mazhab tertentu diberlakukan kepada orang yang menganut mazhab lain, karena undang-undang itu diterapkan kepada mereka ata daar kebangsaan menggunakan semua loyalitas keagamaan dengan tidak memandang mazhab yang dianutnya.
Keseragaman hukum tersebut melahirkan pandangan hukum Islam yang pluralistik. Hukum itu, diambil menurut prinsip seleksi dari doktrin mazhab-mazhab yang berbeda atau doktrin tradisional yang dianggap paling sesuai dengan masyarakat nasional suatu negara untuk kemudian ditulis dalam bentuk undang-undang. Secara singkat prinsip eklektik (talfi
5. Percampuran Hukum Islam dan Barat
Semenjak abad ke 19 tumbuh kontak yang semakin akrab antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Selanjutnya perkembangan hukum kebanyakan ditentukan oleh pengaruh-pengaruh baru yang kemudian mendikte Islam.
Ada dua ciri pokok aktifitas hukum modernis yang menarik perhatian. Pertama, dewasa ini hukum dalam praktek diwarnai oleh perbedaan-perbedaan yang mencolok yang menggambarkan keberagaman posisi perimbangan-perimbangan untuk melayani tarik menarik antara dua faktor dasar, yakni tuntutan-tuntutan praktis dan keharusan melaksanakan prinsip-prinsip agama. Sejak dimulainya pembaharuan hukum, dua faktor ini telah melahirkan dua kutub pemisahan yang tegas, yaitu bahwa undang-undang hukum Barat secara langsung diambil (dipraktekkan) di bidang hukum pidana dan perdata pada umumnya. Sedangkan doktrin shari’ah tradisional terus mengatur bidang hukum perorangan.
Dalam hukum perdata, prinsip-prinsip agama mulai memberikan warna. Penggabungan antara unsur-unsur luar dan unsur-unsur Islami merupakan ciri mencolok dari Undang Undang Hukum Pedata Irak tahun 1953. Banyak aturannya yang berasal dari kodifikasi hukum Hanafi, majallah dan dari teks- teks shari’ah tradisional, sementara ketentuan - ketentuan lain, seperti ketentuan-ketentuan tentang asuransi dan bidang spekulasi sepenuhnya berdasarkan hukum Eropa. Hukum keluarga makin dipengaruhi oleh kaedah-kaedah dan nilai-nilai Barat.
Dari hukum keluarga ini, bila dipandang sebagai suatu kesatuan, nampak sangat kompleks. Sebab ketika ia dikodifikasikan dalam bentuk Undang-Undang modern, hukum ini merupakan campuran antara unsur-unsur tradisional dan unsur-unsur baru. Sedangkan unsur-unsur baru ini, kadangkala merupakan hasil olahan prinsip-prinsip mapan, atau hasil suatu penafsiran baru terhadap nas}s} atau pula kadang merupakan santunan kepada kebutuhan-kebutuhan waktu. Tidak dapat dielakkan bahwa ketentuan-ketentuan baru yang lahir bisa jadi berseberanagan dengan doktrin tradisional. Terutama apabila disadari oleh kaum modernis bahwa shari’ah bisa disesuaikan dengan kebutuhan guna menopang perubahan sosial dan kemajuan masyarakat di era modern .
Sejalan dengan di atas terdapat kaidah dalam pandangan ahli hukum Islam bahwa "terdapat perubahan fatwa atau hukum yang disebabkan oleh perubahan tempat dan waktu" (تغير الفتي بتغيرالأزمنة والامكنة). Berdasarkan kaedah tersebut disyaratkan bagi seorang ahli hukum Islam untuk mengetahui kebiasan-kebiasan yang berkembang dalam masyarakat dan tidak boleh berfatwa dengan hal yang menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan itu. Di samping itu, harus dipahami bahwa suatu hukum yang berlaku pada masa yang lalu bisa jadi tidak dapat dipraktekkan dalam masa yang lain, atau negara yang lain yang mempunyai perbedaan adat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Masa Islam keemasan Islam, terjadi pada periode awal Islam. Periode ini sering dikenal dengan periode Ijtihad. Segera setelah adanya anggapan tertutupnya Ijtihad (walaupun masih menuai pro dan kontra dan dibuktikan oleh ulama bahwa ijtihad tidak tertutup), Islam mengalami masa kemunduran dengan adanya stagnasi pemikiran, khususnya dalam kajian fikih.
Ulama dewasa ini, berusaha kembali menghidupkan semangat ijtihad dengan memberi keringan prihal syarat-syarat mujtahid, yang pada mulanya begitu ketat, dan tidak tersentuh sehingga membuat para ahli hukum mustahil untuk melakukan ijtihad. Dilain itu, dilatar belakangi oleh spesialisasi ilmu pengetahuan saat ini, usaha pembentukan lembaga ijtihad kolektif juga mereka lakukan.








DAFTAR PUSTAKA

Azizy, A. Qodri. Reformasi Bermazhab; Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern. Jakarta: Teraju, 2003.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Bi>k, Muhammad Khudary. Us}u>l Fiqh. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981.
Coulson, Noel J. Konflik dalam Yurisprudensi Islam. Yogyakarta: Navila, 2001
Dahlan, Zaini. Ijtihad suatu Kontroversi; Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997.
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahannya.
Hallaq, Wael B. Melacak Akar-Akar Kontroversi Dalam Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam. Surabaya: Srikandi, 2005.
----- Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Hosen, Ibrahim. Et al. Ijtihad Dalam Sorotan. Mizan: Bandung.
http://nurulwatoni.tripod.com/Pendekatan_Ilmu_Keislaman.htm
Mubarok, Jaih. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fiqih Umat Islam: Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Al-'Umry, Nadiyah Sharif. al-Ijtihad fy al-Isla>m; Ushuluh-Ahkamuh-Afaquh. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2001.
Yusdani, Amir Mu’allim. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Zuhdi, Ahmad. Fiqh Moderat; Menyikapi Khilafiyah Masalah Fiqh. Sidoarjo: Muhammadiyah University Press, 2007.

Tidak ada komentar: