Minggu, 17 Agustus 2008

al-Qur'an berbicara tentang Talak

BAB I

PENDAHULUAN

Perceraian adalah memutuskan hubungan perkawinan. Dalam tradisi Arab tedapat bentuk-bentuk pemisahan hubungan antara suami isteri yang juga telah ditunjukkan di dalam al-Qur’an yaitu talak[1] (t}a>laq), khulu’, iyla>’ dan z}iha>r. Pembahasan kita dalam makalah ini akan menekankan pada prihal pemutusan hubungan perkawinan antara suami dengan isteri yang disebut dengan talak dan khulu'. Lantaran iy>la’ dan dziha>r dewasa ini sudah tidak lagi dipraktekkan.

Mengenai ayat utama yang dibahas dalam makalah ini adalah ayat-ayat tentang talak dan khulu’ yang terdapat dalam surah al-Baqarah, disamping beberapa ayat yang lain sebagai materi penafsir dari ayat utama, yakni, antara lain surah al-T}ala>q [65] ayat 1, dan 4, dan Al-Ah>za>b [33]: 49.

Pengurutan ayat dari yang lebih dahulu turun, ditentukan berdasarkan beberapa cara yaitu; pertama, mendahulukan ayat-ayat Makiyyah dari paada Madaniyyah. Kedua, berdasarkan urutan turunnya surat. Ketiga, berdasarkan kriteria 'a>m dan kha>s} yaitu, mendahulukan ayat yang cakupannya lebih umum dari pada yang khusus atau terperinci.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan cara tersebut di atas, dapat diurutkan sebagai berikut;

1. surah al- Baqarah [2]: 228-232, dan 234.

2. Surah al- al-T}ala>q [65]: 1, dan 4.

3. Al-Ah>za>b [33]: 49.

Hal ini didasarkan karena surah al-Baqarah merupakan surah Madaniyah yang pertama kali mengetengahkan tentang talak dan khulu’ dari pada yang ayat yang lain. Lebih dari itu, surah al-T}ala>q, sebagaimana dikemukakan oleh Hamka[2], merupakan penambah penjelasan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang terrdapat dalam surah al-Baqarah. Sedangkan dalam surah Al-Ah}za>b [33]: 49, merupakan penjelasan tentang iddah. Untuk lebih jelasnya berikut ayat-ayat tentang talak berdasarkan urutannya yang menjadi pembahsan dalam makalah ini:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru>'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"[3].

الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان ولا يحل لكم أن تأخذوا مما ءاتيتموهن شيئا إلا أن يخافا ألا يقيما حدود الله فإن خفتم ألا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به تلك حدود الله فلا تعتدوها ومن يتعد حدود الله فأولئك هم الظالمون

"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim[4]".

فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فلا جناح عليهما أن يتراجعا إن ظنا أن يقيما حدود الله وتلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون

"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui[5]".

وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا ومن يفعل ذلك فقد ظلم نفسه ولا تتخذوا ءايات الله هزوا واذكروا نعمة الله عليكم وما أنزل عليكم من الكتاب والحكمة يعظكم به واتقوا الله واعلموا أن الله بكل شيء عليم

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma`ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma`ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni`mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (Al Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".[6]

وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن إذا تراضوا بينهم بالمعروف ذلك يوعظ به من كان منكم يؤمن بالله واليوم الآخر ذلكم أزكى لكم وأطهر والله يعلم وأنتم لا تعلمون

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui".[7]

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat"[8].

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا

"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru"[9].

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya."[10]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya"[11].

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ayat 228-232 Surah Al-Baqarah

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228) الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(229)فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ(230)وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا ءَايَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ(231) وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ(232)

1. Sabab al-Nuzu>l

a. Ayat 228: Abu> Da>wud dan Ibn Aby H{a>tim meriwayatkan dari Asma>’ Binti Yazi>d ibn al-Sakan al-Ans{ariyah, ia berkata: seorang wanita pada zaman Rasulullah ditalak dan ia tidak mempunyai iddah, kemudian Allah menurunkan iddah atas talak (وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ ثلاثة قروء)[12] al-Tha'labi> wahbat Allah bin Sala>mah menuturkan dari al-Kalbi> dan Muqa>til bahwasannya Isma'i>l bin 'Abd Allah al-Ghifa>ri> mentalak isterinya Qati>lah pada masa Rasulullah sedang dia tidak mengetahui tantang kehamilan isterinya. Kemudian keika ia tahu maka ia merujuk isterinya. Lalu isterinya tersebut melahirkan dan mati. Kemudian anak yang dilahirkan pun juga mati. Maka turunlah ayat ini[13].

b. Ayat 229: menceritakan kepad kami Ahmad bin al-H}asan al-Qa>d}i> berkata; menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya'qu>b berkata; menceritakan kepada kami al-Rabi>' berkata; menceritakan kepada kami Sha>fi'i> berkata; menceritakan kepada kami Shafi'i<>lik dari Hisha>m bin 'Urwah dari ayahnya berkata bahwa dahulu jika seorang lelaki mentalak isterinya, kemudian is merujuknya maka lelaki tersebut tetap berhak atas isterinya, meskipun ia telak mentalak isterinya seribu kali. Suatu ketika terdapat seorang laki-laki yang mentalak isterinya dan membiarkannya sampai mendekati masa iddah. Ketika masa iddah hampir habis, si laki-laki itu merujuknya kembali dan kemudian mentalak lagi. Ia berkata: demi Allah aku tidak akan menyentuhmu dan tidak akan melepaskanmu selamanya. Kemudia Allah menurunkan ayat ini[14].

Al-Tirmidhi>, al-H}a>kim dan lainnya meriwayatkan dari 'Aishah berkata; terdapat seorang laki-laki yang mentalak isterinya dengan sesuka hati. Perempuan itu akan tetap menjadi isterinya apabila ia merujukknya, meskipun laki-laki itu telah mentalaknya seratus kali atau lebih. Sehingga seorang laki-laki berkata kepada isterinya itu; “Aku tidak akan membiarkanmu lepas”. Wanita itu kemudian bertanya, “apa maksudmu?”. Ia menjawab: “aku mentalakmu tetapi kalau iddahmu hampir habis engkau aku rujuk. Begitulah, lalu wanita itu mengadu kepada Nabi saw, maka turunlah ayat 229 ini[15].

c. Ayat 230: Ibn al-Mundhir meriwayatkan dari Muqa>til ibn Hayya>n. Ia berkata: ayat ini diturunkan berkenaan dengan 'Aisyah binti Abd al-Rahma>n bin ‘Atik. Ia adalah isteri Rifa>'ah bin Wahab bin ‘Atik, anak pamannya. Kemudian Rifa’ah mentalak ‘Aisyah dengan talak ba’in. setelah ditalak ia menikah lagi dengan Abd al-Rah}ma>n Ibn al Zubayr. Abd Rahma>n kemudian mentalaknya . Aishah selanjutnya datang menemui Nabi saw dan berkata: “sesungguhnya Abd al-Rahma>n mentalakku sebelum menyentuhku, apakah aku boleh kembali menikah dengan suamiku yang pertama? Nabi menjawab; tidak, sehinggga ia menyentuhmu. Kemudian turunlah ayat ini.[16]

d. Ayat 231: Ibn Jari>r meriwayatkan dari jalan al-'Awfi> dari Ibn Abbas ra., Ia berkata: bahwasannya terdapat seorang suami mentalak isterinya, kemudian ia merujuknya sebelum habis masa iddahnya, kemudian ia mantalaknya lagi. Ia berbuat demikian dengan maksud hendak menyusahkan isterinya dan memberi kemud}aratan kepada isterinya itu. Begitulah lalu Allah menurunkan ayat 231.[17]

Ibn Abi> 'Umar di dalam musnadnya dan ibn Mardawiyah dari abi> al-Darda>' berkata; ada seorang laki-laki mentalak isterinya kemudian ia berkata akau bermain-main. Kemudian Allah menurunkan ayat (ولا تتخذوا ءايات الله هزوا)[18].

e. Ayat 232: Imam Bukhary dan Imam Timidhi> meriwayatkan dari jalan Ma’qil Ibn Yasar ra., bahwa dia pernah mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, lalu ia ditalak sekali, dan tidak dirujuknya hingga iddahnya hamper habis. Dia masih suka kepada isterinya begitu pula sebaliknya. Kemudian ia meminangnya lagi. Ma’qil selanjutnya berkata kepadanya: "wahai orang tercela, sudah aku Hormat engkau dan aku kawinkan saudaraku dengan kamu, tetapi kemudian engkau cerai dia. Demi Allah dia tidak akan kembali kepadamu untuk selama-lamanya". Allah mengetahui hajat suami kepada Isterinya dan juga sebaliknya maka diturunkanlah oleh Allah ayat ini (232). Setelah Ma’qil mendengar ayat tersebut dari Nabi saw., sontak ia mengatakan; “Sungguh aku dengarkan kalam Tuhanku itu dan aku taati. Lalu dipanggilnya lelaki itu, seraya mengatakan kukawinkan engkau dan kuhormati engkau.[19]

2. Munasabah Ayat

Ayat228-232 ini bermunasabah dengan ayat sebelumnya yaitu:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(226)وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(227)

“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber`azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’[20].

Ketika terjadi iyla>’[21] maka suami diberi tangguh empat bulan untuk berfikir apakah ia akanmenceraikan isterinya atau tidak. Apa bila ia bertetap hati untuk bercerai (talak) maka sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.

Setelah menjelaskan mengenai talak pada ayat 227 tersebut, kemudian ayat berikutnya, yaitu ayat 228, menjelaskan mengenai beberapa ketentuan yang berkaitan dengan talak dengan firmannya: (وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِن.... إلخ َ)[22].

Munasabah ayat 228-232 dengan ayat sesudahnya adalah bahwa ayat 228-232 menjelaskan tentang prihal ketentuan talak dan masa iddah bagi wanita yang ditalak. Sedangkan pada ayat selanjutnya yaitu ayat 233 berbicara mengenai prihal persusuan (rad}a>'ah) dan juga kewajiban suami untuk memberi nafkah baik berupa makanan maupun pakaian kepada isteri dengan cara yang ma'ru>f. Firman Allah swt;

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan"[23].

3. Tafsir dan Penjelasan

Perkataan “perempuan-perempuan itu menunggu” (وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ) itu adalah kalimat berita (khabar), tetapi mengandung arti perintah (amr). Maksudnya “tunggulah”. Gunanya untuk menyentuh hati supaya segera diterima dan dilaksanakan.[24]

Selanjutnya, yang dimaksud dengan wanita-wanita yang ditalak adalah wanita yang pernah bercampur dengan suaminya bukan wanita yang dalam keadaan hamil sebagaimana penjelasan tentang masa iddah dalam ayat tersebut.[25] Hal ini karena ketentuan mengenai masa iddah bagi wanita yang belum bercampur dengan suaminya, wanita yang sedang mengandung, wanita yang bercerai karena ditinggal mati suaminya dan wanita yang putus masa haid atau belum haid dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat yang lain[26]. Untuk lebih jelasnya, berikut kami uraikan ketentuan al-Qur'an tentang masa iddah selain bagi wanita yang telah disebut dalam ayat 228;

a. Masa tunggu (iddah) wanita yang sedang hamil adalah sampai melahirkan.

...وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا[27]

b. Wanita yang bercerai akibat kematian suami, iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ[28]

c. Wanita tua yang tidak haid lagi dan wanita yang belum haid, masa tunggu mereka adalah tiga bulan.

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ.....[29]

d. Wanita yang dikawini tanpa bercampur, tidak diwajibkan baginya masa tunggu apabila terjadi perceraian (talak).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا[30]

Para ulama berbeda pendapat mengenai arti kata quru>' dalam ayat 228 di atas. Hal ini karena kata quru>' itu merupakan kata yang mempunyai makna ganda (ambigu) dalam bahasa Arab, yaitu haid} dan suci. Pendapat ini merupakan pendapat yang mashhu>r di kalangan ulama, sama halnya dengan kata al-shafaq (mega), yang mempunyai arti merah dan putih secara bersamaan. Pendapat lain dari ulama kontemporer mengemukakan bahwa kata quru>' makna asalnya adalah haid sedangkan makna maja>z-nya adalah suci, sebagian yang lain ada yang berpendapat sebaliknya[31].

Abu 'Ubaid mengemukakan bahwa kata quru>' merupakan ungkapan yang menunjukkan perpindahan (الإنتقال) dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.[32] Begitu juga, al-Qurtuby[33], menafsirkan kata thala>thah quru>' dalam kalimat " وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ" dengan arti tiga perpindahan. Perpindahan bagi wanita yang ditalak hanya ada dua kemungkinan, yaitu adakalanya perpindahan dari keadaan suci kepada keadaan haid dan adakalnya dari haid ke suci. Kemudiasn apabila ditetapkan bahwa arti quru>' adalah perpindahan seperti di atas, maka maksud dari ayat tersebut adalah perpindahan dari suci (ketika dilaksanakan talak) kepada keadaan haid, bukan perpindahan dari haid ke suci berdasarkan dalil bahwa Allah swt tidak memaksudkan perpindahan dari haid ke suci sebagaimana firman-Nya:

....فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ...[34]

Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa maksud potongan ayat di atas adalah perintah bagi laki-laki yang mentalak isterinya agar melakukan talak ketika isteri dalam keadaan suci[35]. Kemudian hitunglah iddahnya yaitu dimulai dari keadaan suci ketika si wanita di talak. Di samping dalil al-Qur'an di atas terdapat hadis nabi saw yang s}ahi>h yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim yang menunjukkan larangan nabi saw. atas pelaksanaan talak ketika isteri dalam keadaan haid dan juga menunjukkan bahwa masa suci adalah masa yang disebut dengan iddah[36].

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ[37]

Kesemua dalil nas}s} tersebut menunjukkan bahwa masa suci merupakan masa yang disebut dengan iddah dan masa ketika isteri di talak. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal bahwa talak yang dilakukan pada waktu haid, tidak terhitung iddah pada masa haid itu. Sedang talak yang dilakukan pada masa suci dihitung sebagai iddah dan lebih utama. Abu Bakar bin 'Abd al-Rah}ma>n mengemukakan bahwa "kami tidak pernah mendapati para ahli fikih pada masa kami kecuali mereka yang berpendapat dengan perkataan 'Aishah (istri Nabi saw) yang mengatakan bahwa sesungguhnya al-aqra>' adalah al-at}ha>r (suci)[38].

Perkataan “Suami-Suami mereka lebih berhak untuk merujuknya” mempunyai arti suami-suami mereka, dalam hal talak raj’i<, lebih berhak untuk merujuk isteri selagi dalam masa iddah. Penetapan shari’at semacam ini dimaksudkan untuk berusaha melanggengkan ikatan suami isteri yang terdahulu. Maka benarlah bahwa dalam hal ini tidak ada perkara halal yang lebih dibenci disisi Allah kecuali talak. Sebagaimana dikemukakan dalam hadis riwayat Abu> Dawud dari Ibn 'Umar berikut;

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

Arti matan hadis; "tidak ada sesuatu yang halal yang lebih dibenci Allah kecuali talak"[39]

Bagi wanita yang ditalak, diharuskan untuk menyetujui ajakan rujuk dari suami dengan syarat bahwa rujuk itu dimaksudkan untuk is{la>h} dan kebaikan untuk suami-isteri. Akan tetapi jika hal iti dimaksudkan untuk mempersulit, memberi kemud}aratan, atau mencegah isteri untuk menikah dengan oaring lain, sehingga membuatnya terkatung-katung, maka suami tersebut adalah orang yang berbuat dosa kepada Allah karena memberi kemud}aratan kepada isterinya. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa penetapan shari’at rujuk tersebut disyaratkan atas dua hal yaitu; keinginan untuk is}la>h dan niat untuk berhubungan ma’ru>f.[40]

Perkataan ”dan wanita mempunyai hak sebanding dengan kewajibannya dengan cara yang baik” yakni sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah atas hak laki-laki terhadap perempuan.

Ibn Abbas berkata:

إني لأحب ان اتزين للمرأة كما احب تتزين لي لأن الله تعالى يقول (ولهن مثل الذي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ)

"sesungguhnya aku lebih senang berhias diri untuk istriku sebagaimana aku senang ia berhias diri untukku, karena Allah swt berfirman; "… dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`'ru>f"[41].

Tentang hak dan kewajiban suami isteri ini, dalam riwayat s}ah}i>h oleh Muslim dari Jabir bahwa Rasulullah menjelaskan dalam khut}bahnya pada haji wada’ sebagai berikut:

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam persoalan wanita karena sesungguhnya kalian mengambilnya dengan amanah Allah, menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah, dan hakmu atas istrimu yaitu kiranya mereka tidak mempersilahkan oaring yang kamu benci untuk menginjak tempat tidurmu. Apabila ia melakukannya maka pukullah ia dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Sedangkan hak mereka atas kamu adalah memberi rizqi mereka dan pakaian dengan cara yang ma’ru>f.[42]

Talak yang dapat dirujuk adalah dua kali artinya seorang suami hanya memperoleh kesempatan dua kali melakukan perceraian dengan isterinya. Setelah itu ia harus memilih antara dua hal, yaitu; menahan untuk tidak bercerai (rujuk) dengan ma’ru>f serta bergaul dengan baik, atau melepasnya (bercerai) dengan baik (ih}sa>n).

Dikemukakan bahwa maksud penjatuhan talak dari ayat ini, yaitu menjatuhkan talak secara terpisah antara talak yang pertama dengan talak yang kedua dan ketiga. Atas dasar itu, mengumpulkan dua talak atau tiga talak sekaligus adalah haram hukumnya. Menurut pendapat Abu Zayd al-Dabu>sy, sebagaimana dikutip oleh al-Ra>zy, golongan yang mengharamkan ini termasuk diantaranya, Umar, Uthman, ‘Aly, Abdullah Ibn Mas’u>d, Ibn ‘Abbas, Ibn Umar, Imra>n ibn al-H}as}i>n, Aby Mu>sa al-‘Ash’ary, Aby al-Darda>’ dan H}udhaifah[43].

Quraish Shihab, sependapat dengan hal di atas yakni dua talak diucapkan dalam waktu yang berbeda. Akan tetapi ia menyebutkan bahwa ‘Umar Ibn Khat}t}a>b pernah mengambil kebijakan lain dengan menetapkan bahwa talak talak jatuh dua atau tiga kali sesuai dengan ucapan walau dalam sekali waktu atau sekali ucap. Hal ini ia tempuh untuk memberi pelajaran kepada suami yang ketika itu dengan sangat mudah mengucapkan talak, agar berhati-hati dalam ucapannya.[44]

Ulama berbeda pendapat mengenai mengumpulkan talak tiga dalam satu ucapan, apakah jatuh satu talak atau tiga talak sekaligus. Madhh}ab empat berpendapat jatuh talak tiga.[45] Menurut Hanafiyah dan Malikiyah, disertai dengan Makru>h. Sedangkan menurut al-Razy, disamping jatuh talak tiga, hukumnya adalah Muba>h}.[46]

Menurut Shi’iah Imamiyah talak yang diucapkan tiga sekaligus tidak dapat menjatuhkan talak walaupun satu talak. Sedangkan menurut al-Zaydiyah, Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim, adalah jatuh talak satu[47]. Lebih lanjut menurut pendapat Shi’iah Imamiyah dan mereka yang sepakat dengan pendapatnya bahwa merupakan suatu kewajiban untuk kembali kepada al-Sunnah dan menolak ijtiha>d yang dilakukan oleh 'Umar Bin al-Khat}t}a>b karena melakukan talak tiga sekaligus merupakan tindakan membatalkan rukhs}ah dan pertolongan yang telah diberikan oleh Allah[48]. Mereka berdalil dengan firman Allah swt. sebagai berikut[49];

....لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا....

Zuhayly, mengemukakan bahwa talak adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah yang tidak dishari’atkan keuali karena darurat. Jika hal tersebut terjadi, maka suami haram mengambil kembali apa yang telah ia berikan baik mahar atau yang lainnya ( ولا يحل لكم أن تأخذوا مما ءاتيتموهن شيئا). Justru suami berkewajiban memberi hadiah berupa materi atau uang kepada isteri sebagai tambahan atas hak-haknya. Berdasarkan Firman Allah Surah al-Ah}za>b [33] ayat 49.فمتعوهن وسرحوهن سراحا جميلا) ).[50]

Dalam ayat 229 ini Allah juga memperbolehkan sang isteri memmberikan sesuatu kepada suaminya sebagai imbalan perceraian atau khulu’ (فلا جناح عليهما فيما افتدت به).

Mengomentari ayat diatas ini, Muhammad Asad mengatakan sebagai berikut:

“Semua ahli sepakat bahwa ayat ini berkaitan dengan hak mutlak sebagai bagian dari isteri untuk mendapatkan cerai dari suaminya; terputusnya perkawinan lewat inisiatif isteri seperti itu disebut khulu’. Ada sejumlah tradisi bahwa isteri thabit ibn Qais, jamilah, dating kepada nabi dan menuntut cerai dari suaminya. Ia tidak suka kepadanya karena itu ia tidak ingin terjatuh menjadi tidak beriman setelah masuk Islam. Setelah itu, Nabi menetapkan bahwa ia harus mengembalikan kepada thabit taman yang telah dia berikan kepadanya sebagai mahatnya di saat perkawinan mereka. Dan menetapkan perkawinan itu dibubarkan…sesuai dengan tradisi ini, hukum Islam menetapkan bahwa kapan pun sebuah perkawinan dibubarkan berdasarkan inisiatif isteri tanpa ada pelanggaran dari suami terhadap kewajiban-kewajiban perkawinannnya, isteri adalah yang merusak kontrak dan oleh karena itu, dia harus mengembalikan mahar yang telah ia terima dari suaminya pada saat perkawinan. Dalam kejadian ini “tidak ada dosa bagi keduanya” jika suamu mengambil kembali mahar yang telah diberikannya pada isteri atas kebebasan isterinya itu"[51]

Menurut Jumhu>r Ulama, boleh melakukan khulu’ dengan memberikan tebusan lebih besar dari mahar yang diberikan suami kepadanya. Menurut Hanafiyah hal tersebut dimakruhkan. Sedangkan golongan Shi’ah, al-Zuhry, Hasan al-Bas}ry tidak memperbolehkan khulu’ dengan memberikan lebih dari mahar yang diberikan suami kepada isteri. Imam Shafi’i> dalam hal ini berpendapat bahwa khulu’ adalah mubah dan bagi si laki-laki berhak atas mahar mithil nya si wanita itu ( (مهر مثل. [52]

Ayat 230 menunjukkan bahwa setelah terjadinya talak yang ketiga maka tidak dapat dirujuk kembali. Rujuk dan khulu’ hanya dapat dilakukan sebelum terjadinya talak yang ketiga. Itulah sebabnya Allah menyebutkan hukum prihal rujuk dan khulu’ sebelum menyebutkan hukum talak yang ketiga. Karena talak yang ketiga seperti halnya bab akhir dari seluruh hukum yang dijelaskan dalam bab ini[53].

Lebih jelasnya, jika suami memilih untuk menceraikan isterinya dengan perceraian yang tidak ada lagi kesempatan rujuk (talak ketiga), maka bekas isterinya itu tidak halal baginya untuk dinikahi sampai bekas isteri tersebut menikah dengan pria yang lain, selain bekas suami yang pertama.[54]

Jumhur ulama mensyaratkan lima hal bagi wanita yang telah di talak tiga, untuk kembali menjadi isteri si suami (suami yang telah mentalak tiga). Pertama, telah melakukan iddah dari talak yang ketiga. Kedua, melakukan akan nikah dengan suami atau pria lain(suami yang ke dua). Ketiga, telah disetubuhi oleh suami yang kedua tersebut. Keempat, ditalak oleh suami yang kedua. Kelima, melakukan iddah dari perceraian dengan suami yang kedua.[55]

Pada ayat 231, disebutkan bahwa Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati habisnya masa iddah maka bagimu adalah salah satu dari dua perkara yaitu merujuk dengan cara yang ma’ru>f bukan dengan maksud memberi kemudharatan atau menceraikan dengan cara yang ma’ru>f pula,[56] yaitu dengan menunaikan hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami seperti nafkah, mahar, mut'ah dan lain sebagai nya.[57]

Baik rujuk maupun cerai, semua harus dilakukan dengan cara yang ma’ru>f. Dalam ayat 231 ini menceraikan disebutkan dengan kata ma’ru>f sedangkan dalam ayat 229 diatas disebutkan dengan kata ih}sa>n. ma’ru>f dalam ayat ini adalah batas minimal dari perlakuan yang dituntut atau yang wajib dari suami yang menceraikan. Sedangkan, ayat 229 adalah batas yang terpuji yang dianjurkan yang melebihi kewajiban. Karena itu pula dalam ayat 231 ini, perintah minimal itu disusul dengan larangan minimal pula yaitu janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemud}aratan. Siapapun yang melakukannya, maka pada hakikatnya ia telah menganiaya dirinya sendiri.[58]

Disebutkan juga pada ayat ini bahwa "Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan "(وَلَا تَتَّخِذُوا ءَايَاتِ اللَّهِ هُزُوًا). Ayat ini merupakan larang untuk menjadikan hukum-hukum Allah sebagai gurauan, karena kesemua hukum Allah merupakan kesungguhan. Ulama sepakat bahwa apabila seseorang mentalak isterinya dengan cara bergurau maka akan tetap jatuh talak.[59] Selanjutnya ingatlah akan nikmat Allah yaitu berupa Islam, penjelasan hukum, dan juga akan hikmah, yaitu al-Sunnah yang menjelaskan maksud Allah melalui lisan Nabi saw., terhadap hal-hal yang tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur'an. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[60]

Pada ayat berikutnya, yakni ayat 232, beerbicara wanita-wanita yang telah ditalak dan telah habis masa iddahnya. Kata “ad}l((عضل, sebagai larangan menghalangi para wanita yang telah dicerai itu untuk kawin lagi setelah masa iddahnya habis. Hal ini karena kata “ad}l” itu sendiri terjadisetelah masa iddah telah habis[61].

Menurut imam Malik, Shafi’i فلا" تعضلوهن adalah ditujukan bagi para wali, berdasarkan petunjuk dari sebab turunnya ayat. Atas dasar itu, dapat dimengerti juga bahwa tidak boleh menikah bagi perempuan tanpa wali. Sedangkan menurut Hanafiyah, seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, sebagaimana Allah menyandarkan pernikahan pada si wanita, yaitu dalam firman-Nya; (حتى تنكِحَ زوجًا غيرَه). Lebih lanjut, menurut Hanafiyah, khita>b dari فلا تعضلوهن" ditujukan kepada para Suami,yakni larangan bagi mereka untuk merujuk isteri dengan jalan memberi kemudaratan yaitu untuk mencegah isteri menikah dengan lelaki lain. Selanjutnya, berdasarkan firman Allah "إذا تراضوا بينهم", Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa ayat itu menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi suami meminang wanita untuk dirinya, dan melakukan kesepakatan bersama wanita untuk melakukan pernikahan.[62]

Quraish Shihab, dalam hal ini mengemukakan pernyataan yang lebih umum bahwa khita>b dari فلا تعضلوهن"ditujukjan pada suami, wali atau siapapun yang melakukan ‘ad}l. Dengan demikian arti menurut Quraish Shihab adalah; “maka janganlah kamu -wahai bekas suami dan juga para wali atau siapapun- melakukan ‘ad}l yakni menghalangi mereka (para wanita itu), menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan”[63].

Ayat ini mengisyaratkan bahwa hendaknya persoalan yang berkaitan dengan rujuknya suami istri diselesaikan mereka berdua tanpa campur tangan pihak luar. Karena mereka sendirilah yang akan merasakan pahit getirnya perceraian. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang diantara kamu yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.[64]

3. Kandungan Hukum

Ayat-ayat di atas menunjukkan beberapa petunjuk tentang hukum berkenaan dengan talak. Secara terpisah Zuhayly menyebutkan kandungan hukum dari masing-masing ayat. Menurut Zuhayly, Ayat 228 surah al-Baqarah, mempunyai kandungan hukum sebagai berikut;

  1. Kewajiban iddah
  2. Penetapan shari’at rujuk
  3. hak-hak suami dan Isteri[65]

Mengenai tata cara rujuk dalam masa iddah para ulama berbeda pendapat. Menurut Shafi’iyah, rujuk dalam masa Iddah dapat dilaksanakan dengan kata-kata yang jelas (qawl s}ari>h) atau lafaz} sindiran dengan niat misalnya: “Aku mengawinimu” atau “Aku menikahimu”, dan rujuk tidak dapat terlaksana dengan adanya wat}i’ (bersetubuh).[66] Lebih lanjut menurut Shafi’iy sebagaimana dikemukakan oleh al-Ra>zy, diharamkan istimta>’ dengan istri kecuali setelah adanya rujuk.[67]

Menurut pendapat Jumhur, rujuk dapat dilaksanakan dengan perkataan, atau perbuatan seperti ciuman dengan syahwat dan bersetubuh (wat}’). Malikiyah menembahkan, rujuk dapat juga dilakukan dengan niat yaitu dengan mengatakan dalam hatinya “Aku merujuknya”. Golongan Hanabilah tidak membolehkan rujuk dengan sindiran (kina>yah).[68]

Kandungan hukum yang terdapat dalam Ayat 229-230 surah al-Baqarah yaitu;

1 ). Bilangan talak dan sunnah talak

Bilangan talak adalah dua kali yang dapat dirujuk sedangkan setelah talak yang ketiga tidak dapat dirujuk lagi. Al-Da>ruqut}ni<>n, mengkhabarkan kepadanya Wahab bin Na>fi' (pamannya), ia berkata: aku mendengar 'Ikrimah meriwayatkan hadis dari Ibn 'Abba>s, ia berkata: Talak itu ada 4 cara. Dua cara adalah halal dan dua cara yang lain adalah hara>m. talak yang halal adalah talak yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan suci sebelum di jima' (disetubuhi) pada masa suci itu dan talak yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan hamil yang jelas kehamilannya. Sedangkan talak yang haram adalah talak yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan haid dan talak yang dilakukan dalam masa suci tetapi setelah disetubuhi[69].

Hamka menyebutkan bahwa dua cara talak yang halal disebut dengan talak sunnah sedangkan dua talak yang haram dengan talak bid'ah. Lebih lanjut, meskipun bid'ah talak tetap jatuh juga.[70] Berbeda dengan pendapat Sa'i>d bin al-Musayyab yang mengatakan bahwa talak dalam masa haid tidak jatuh talak, karena menyimpang dari sunnah. Pendapat ini juga merupakan pendapat dari golongan Shi'ah.[71]

Menurut imam Shafi'i> talak tidak dapat dikatakan bid'ah apabilah dilakukan pada masa suci meskipun di ucapkan tiga sekaligus. Abu Hanifah berpendapat bahwa talak sunnah adalah talak yang dilakukan pada masa suci dan hanya satu talak sedangkan apabila tiga talak sekaligus dianggap bid'ah. Lain halnya menurut Shi'ah yang mengatakan bahwa termasuk talak yang diperbolehkan adalah talak dalam keadaan suci meskipun disetubuhi pada masa suci tersebut[72].

2). khulu'

Allah swt melarang suami untuk mengambil sesuatu yang diberikan kepada isterinya dengan jalan yang tidak diperkenankan yaitu untuk memberi kemud}aratan kepada isteri. Akan tetapi bila isteri menuntut talak dengan membayar tebusan kepada suami maka hal itu diperbolehkan. Dawud al-Z}ahiri mensyaratkan bahwa khulu' hanya boleh dilakukan dalam hal kahawatair tidak dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah dalam hubungan perkawinan karena masing-masing suami atau isteri tidak saling menyukai sehingga dikhawatirkan melakukan nushu>z atau melakukan hal yang buruk atas hubungan perkawinan. Sebaliknya menurut kebanyakan para Imam, khulu' adalah boleh baik dalam keadaan khawatir maupun dalam keadaan tidak khawatir[73].

Jumhur ulama berpendapat bahwa diperbolehkan dalam khulu' memberikan tebusan lebih dari yang diberikan suami kepada isteri. Menurut Hanafiyah hal itu adalah makruh. Mereka yang menolak khulu' dengan tebusan yang lebih besar dari yang diberikan suami adalah golongan Shi'ah, al-Zuhry, dan H}asan al-Bas}ry berdasarkan firman Allah; فلا جناح عليهما فيما افتدت به yakni apa yang diberikan suami kepada isteri (مما أتيتموهنّ). Lebih dari itu, menurut jumhur ulama selain Imam Sha>fi'i>, khulu' boleh dilakukan atas suatu tebusan yang mempunyai kemungkinan untuk adanya tipuan (أمر محتمل الغرر), atau sesuatu yang belum ada tetapi dinanti keberadaannya, seperti buah yang belum waktunya dipanen, janin binatang yang masih dalam perut induknya dan lain sebagainya[74].

3). Pernikahan wanita yang telah di talak tiga

Bagi wanita yang telah ditalak tiga dan telah melakukan perkawinan dengan laki-laki lain setelah habisnya masa iddah dengan suami yang pertama, dengan tujuan pernikahan yang kekal dan karena rasa suka. Kemudian terjadi talak antara keduanya, bukan karena kesepakatan sebelum pernikahan. Maka setelah habis masa iddah dengan suami yang kedua, suami pertama boleh menikahi wanita itu lagi.[75]

Sementara itu kandungan hukum yang terdapat dalam ayat 231-232 adalah sebagai berikut[76];

a). Merujuk atau menahan dengan cara yang ma'ru>f .

b). melepaskan dengan cara yang baik (ih}sa>n).

c). keharaman bergurau dengan hukum-hukum Allah.

d). Mereka yang bergurau dalam melakukan talak, menurut ijma>' ulama, tetap jatuh talak.

e). larangan wali untuk mencegah hak perkawinan antara suami isteri.

f). Tidak diperbolehkan nikah tanpa wali

g). Iman menuntut untuk mengambil nasihat

h). Shari'at Allah mencakup kemaslahatan umum meskipun kadang-kadang tidak disadari oleh manusi lantaran keterbatasan akal.

Al-Shabu>ny, dalam hal ini menyebutkan bahwa dari gambaran secara keseluruhan yang telah diberikan al-Qur’an pada ayat 228-232 serta penafsirannya, dapat diambil beberapa petunjuk hukum, antara lain sebagai berikut[77]:

1). Perempuan yang ditalak, baik raj’i> maupun bai’n, wajib iddah.

2). Diharamkan merahasiakan kehamilan, serta wajibnya memberitahukan secara jujur dalam masalah ini.

3). Suami berhak merujuk isterinya yang ditalak raj’i<>

4). Suami isteri mempunyai hak dan kewajiban timbal balik yang sama, tetapi suami mempunyai derajat sebagai pengurus.

5). Talak raj’i< hanya dua kali saja. Sedang setelah talak yang ketiga diharamkan untuk rujuk kecuali hingga isteri itu kawin lagi dengan laki-laki lain, dengan pernikahan shar’i> dengan tujuan untuk hidup selama-lamanya.

6. Kalau ternyata ada kemaslahatan, maka isteri boleh mengajukan khulu’ dengan membayar kepada suami.

7. Dalam menebus diri itu, suami dilarang memberatkan isterinya.

8. Perempuan yang ditalak tiga yang kemudian kawin dengan lelaki lain, boleh kembali lagi kepada suaminya yang pertama sesudah dicerai oleh suaminya yang kedua dengan syarat sudah dicampuri.

G. Hikmat al-Tashri>’

Islam memperkenankan talak sekalipun hal tersebut dinilai sebagai hal yang teramat dibenci Allah (أبغض الحلال الى الله الطلاق)[78], akan tetapi ia ditetapkan karena suatu darurat dan keadaan yang memaksa, serta demi memulai hidup baru yang lebih baik.

Diperbolehkannya talak oleh Islam itu untuk menolak bahaya yang lebih besar terutama terhadap anak-anak, serta mendapatkan kemaslahatan yang lebih banyak. Allah menetapkan talak raj’i> itu dua kali yang dijatuhkan dalam keadaan suci, sebagaimana petunjuk sunnah, adalah untuk memberi kesempatan kepada suami untuk berfikir antara melakukan rujuk atau melepasnya dengan baik. Disamping itu juga memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, serta kekeliruan lainya, kemudian kembalihidup dengan cinta dan kasih sayang. Dalam kesempatan demikian suami hanya akan berpisah dengan cara sebaik-baiknya demi kemaslahatan keluarga dan kemaslahatan mereka berdua.

Perlu diperhatikan bahwa Islam datang untuk memperbaiki kekeliruan dan melindungi kehormatan perempuan yang pernah hilang di zaman jahiliyah, yaitu ketika orang-oarang pada waktu itu dapat mencerai isteri mereka tanpa batas. Seorang lelaki kapan saja dapat menjatuhkan talak untuk kemudian merujuknya. Dalam kondisi semacam itulah al-Qur’an diturunkan memberi batasan (الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان).[79]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pada zaman jahiliyah, orang-orang Arab dalam tradisinya dapat menceraikan isterinya tanpa ada batasan tertentu. Seorang wanita dapat ditalak dan dirujuk sesuka hati. Hal ini tentu memberi kemud}aratan dan menyusahkan pihak perempuan. Karena ia harus terkatung-katung di antara talak dan rujuk karena akan kembali menjadi isteri si suami dalam akhir iddah, ketika si suami itu menginginkannya, kapan saja dan dimana saja.

Setelah setelah Islam datang, melalui ajaran al-Qur’an, Islam meluruskan tradisi jahiliyah yang salah yang cenderung menyusahkan wanita. Ajaran al-Qur’an memberi batasan talak yaitu talak yang dapat dirujuk adalah dua kali saja. Setelah itu suami diberi pilihan antara merujuknya dengan cara ma’ru>f atau mencerainya dengan cara yang ma’ru>f pula.

Disamping memberi batasan tersebut di atas, Islam juga berusaha mengangkat kehormatan wanita, dengan memberi petunjuk bahwa hak dan kewajiban antara suami isteri adalah sama (وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Da>wud, Sunan Abi Da>wud. Juz 6. Beirut>: Da>r al-Fikr, tt.

'Awn al-Ma'bu>d. Juz 5 hal 63 Ba>b T}ala>q dalam CD Maktabah Sha>milah.

Asad, Muhammad. The message of the Qur’an. Gibraltar, 1980.

al-Bukhary, Abu> Abd Allah Muh}ammad bin Isma>''i>l bin Ibra>hi>m bin al-Mughi>rah bin Bardazbah al-Ja'fy. S}ahi>h al-Bukhary, Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

Muslim, Abu al-H}usayn bin al-H}ajja>j bin Muslim bin Ward, S}ahi>h al-Muslim, Beiru>t: Da>r al-Fikr, tt.

Depertemen Agama, Al-Qur'an dan terjemahannya.

Hamka, Tafsir al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000.

Al-H}ams}i>, Muhammad H}asan Qur'an Kari>m; Tafsi>r wa Baya>n ma'a Asba>b al-Nuzu>l li al-Suyu>t}i>. Damaskus: Da>r al-Rashi>d, tt.

Al-Naysabu>ry, Aby al-H}asan A’ly Ibn Ahmad al-Wa>h{idy. al-Wasi>it{ fy Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d. Juz 1. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.

--------, Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Da>r al-Fikr, 1988.

Al-Qurtuby, Abu 'Abd Allah Muh}ammad bin Ah}mad al-Ans}a>ry. al-Ja>mi' li Ah}ka>m al- Qur'a>n. Juz 3. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

Al-Razy, Fakhr al-Di>n Muhammad ‘Umar Ibn al-Husayn Ibn al-Hasan Ibn ‘Aly al-Tami>my al-Bakry. Tafsi>r al-Kabi>r, Jilid 3. Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 1990.

Al-Shabu>ny, Muhammah ‘Aly. Rawa’i’ al-Baya>n Tafsi>r Aya>t al-Ahka>m min al Qur’a>n. Juz 1. Da>r al-Fikr: tt.

Shihab, M. Quraish. Tafsi>r al-Mishba>h. Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Al-T{abary, Ja’far Muhammad Ibn Jari>r, Tafsi>r al-T{abary. Jilid 2. Beirut: D>a>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

Zuhayly, Wahbah. al-Tafsi>r al-Muni>r fy al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Juz 1. Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>sir, 1991.



[1] Talak adalah memutuskan hubungan atau ikatan antara suami isteri dengan lafaz}\-lafaz} tertentu. Lihat; Wahbat Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r fy al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al-Manhaj. Juz 1. (Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>sir, 1991), 339.

[2] Hamka, Tafsir al Azhar. Juz XXVIII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000) 257.

[3] Al-Qur'an, 2 (al-Baqarah): 228.

[4] Ibid., 229.

[5] Ibid., 230.

[6] Ibid., 231.

[7] Ibid., 232.

[8] Ibid., 234.

[9] Ibid., 65 (al-T}ala>q): 1

[10] Ibid., 4.

[11] Ibid., 33 (al-Ah}za>b): 49.

[12] Muhammad H}asan al-H}ams}i>, Qur'an Kari>m; Tafsi>r wa Baya>n ma' Asba>b al-Nuzu>l li al-Suyu>t}i> (Damaskus: Da>r al-Rashi>d, tt), 78.

[13] Ibid.

[14] Abu> H}asan 'Aly bin Ah}mad al-Wa>h}idy al-Naysa>bu>ry, Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Da>r al-Fikr, 1988), 50.

[15] al-H}ams}i>, Qur'an Kari>m; Tafsi>r wa Baya>n ma' Asba>b al-Nuzu>l li al-Suyu>t}i>, 79.

[16] Ibid.

[17] Ibid., 80. Lihat juga dalam; Ja’far Muhammad Ibn Jari>r Al-T{abary, Tafsi>r al-T{abary. Jilid 2. (Beirut: D>a>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 252.

[18] Ibid.

[19] Ibid.81. Lihat Juga Riwayat lain dari Bukhari> dari Ah}mad bin H}afs} dalam al-Naysa>bu>ry, Asba>b al-Nuzu>l, 50.

[20] Al-Qur'an, 2 (al-Baqarah): 226-227.

[21] Iyla>’ adalah sumpah yang dilakukan oleh suami baik dalam keadaan marah maupun tidak untuk tidak melakukan seks dengan isterinya. Shihab, Misba>h, 485.

[22] Ibid., 486.

[23] Al-Qur'an, 2 (al-Baqarah): 233.

[24] Muhammah ‘Aly al-Shabu>ny, Rawa’i’ al-Baya>n Tafsi>r Aya>t al-Ahka>m min al Qur’a>n. Juz 1. (Da>r al-Fikr: tt), 253

[25] Aby al-Hasan a’ly Ibn Ahmad al-Wa>h{idy al-Naysabu>ry, al-Wasi>it{ fy Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d. Juz 1. (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 332.

[26] M. Quraish Shihab, Tafsi>r al-Mishba>h. Vol. 1. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 487.

[27] Al-Qur'an, 65 (Al-T{ala>q) : 4.

[28] Ibid., 2 (Al-Baqarah): 234.

[29] Ibid., 65 (Al-T{ala>q): 4.

[30] Ibid., 33 (Al-Ah>za>b): 49.

[31] Fakhr al-Di>n Muhammad ‘Umar Ibn al-Husayn Ibn al-Hasan Ibn ‘Aly al-Tami>my al-Bakry al-Razy, . Tafsi>r al-Kabi>r, Jilid 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 1990), 75.

[32] Ibid., 76.

[33] Abu 'Abd Allah Muh}ammad bin Ah}mad al-Ans}a>ry al-Qurtuby, al-Ja>mi' li Ah}ka>m al- Qur'a>n, juz 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 114.

[34] Al-Qur'an, 65 (al-T}ala>q): 1

[35]al-Qurtuby, al-Ja>mi' li Ah}ka>m, jus 3, 115.

[36] Ibid.

[37] Abu> Abd Allah Muh}ammad bin Isma>''i>l bin Ibra>hi>m bin al-Mughi>rah bin Bardazbah al-Bukhary al-Ja'fy, S}ahi>h al-Bukhary,Juz 16 hadis no. 4850. (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 292. Lihat juga; Muslim bin al-H}ajja>j bin Muslim bin Ward, S}ahi>h al-Muslim, Juz 7. no.2675. (Beiru>t: Da>r al-Fikr, tt.), 408.

[38] al-Qurtuby, al-Ja>mi' li Ah}ka>m, jus 3, 115-116.

[39] Abu Da>wud, Sunan Abi Da>wud. Juz 6 (Beirut>: Da>r al-Fikr, tt), 91. Menurut al-Mundhiri>, hadis ini adalah ghari>b dan mursal. Lihat 'Awn al-ma'bu>d. Juz 5 hal 63 Ba>b T}ala>q dalam CD Maktabah Sha>milah.

[40] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 320-321.

[41] al-Naysabu>ry, al-Wasi>it{ fy Tafsi>r, 288.

[42] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 329.

[43] al-Razy, Tafsi>r al-Kabi>r, 83. Lihat juga. Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 333.

[44] Shihab, Misba>h, 492-493.

[45] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r,340.

[46] al-Razy, Tafsi>r al-Kabi>r, 83.

[47] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r,340.

[48] Ibid., 341.

[49] Al-Qur'an, 65 (al-T}ala>q): 1.

[50] Ibid., 335.

[51] Lihat. Muhammad Asad, The message of the Qur’an. (Gibraltar, 1980), 54.

[52] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r,342-343.

[53] al-Razy, Tafsi>r al-Kabi>r ,90.

[54] Shihab, Misba>h, 494.

[55] al-Razy, Tafsi>r al-Kabi>r ,90.

[56] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 359.

[57] Al-Tabary, tafsi>r T}abary., 251.

[58] Shihab, Misba>h, 499.

[59] al-Qurtuby, al-Ja>mi' li Ah}ka>m, jus 3, 156-157.

[60] Ibid., 157.

[61] Shihab, Misba>h, 501.

[62] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 355- 356.

[63] Shihab, Misba>h, 501.

[64] Ibid.

[65] Fakhr al-Di>n Muhammad ‘Umar Ibn al-Husayn Ibn al-Hasan Ibn ‘Aly al-Tami>my al-Bakry al-Razy, Tafsi>r al-Kabi>r, Jilid 3. (Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 1990), 73,80-81. Lihat Juga. Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 323, 325, dan 328.

[66] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 326.

[67] al-Razy, Tafsi>r al-Kabi>r, 81.

[68] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 326.

[69] al-Qurtuby, al-Ja>mi' li Ah}ka>m. Jus 18, 150

[70] Hamka, Tafsir al-Azhar, jus XXVIII, 260-261.

[71] al-Qurtuby, al-Ja>mi' li Ah}ka>m. Jus 18, 150-151.

[72] Ibid., 151.

[73] Zuhayly, al-Tafsi>r al-Muni>r, 342.

[74] Ibid. 343

[75] Ibid., 346.

[76] Ibid., 353-356.

[77] al-Shabu>ny, Rawa’i’ al-Baya>n, 268.

[78] Lihat footnote no. 39.

[79] al-Shabu>ny, Rawa’i’ al-Baya>n, 269.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

The Best Casinos in South Africa 2021 - LuckyClub.live
The best South African casinos are powered by the best software providers available. Discover the luckyclub.live South African casinos for South Africans from this Bonus: 25 Free Spins + 100 Bonus SpinsMinimum Deposit: AU$1000 Rating: 8/10 · ‎Review by Lucky Club