Senin, 18 Agustus 2008

Ijmak dalam Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perumusan hukum Islam, dikenal adanya istilah sumber dan dalil. Kata sumber dalam hukum fikih adalah terjemahan dari lafaz{ "mas}dar" (مصدر), jamaknya adalah mas}adir (مصادر). Pada literatur kontemporer dikenal pula istilah dalil sebagai ganti dari kata mas}dar.
Ada anggapan bahwa kedua kata terebut adalah sinonim, akan tetapi bila dilihat dari pengertian etimologis, maka akan terlihat bahwa kedua kata tersebut tidaklah sinonim. Terutama ketika dihubungkan dengan kata "shari'ah ”. kata sumber (مصدر), dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah tersebut dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan kata dalil hukum berarti suatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah .
Dengan demikian kata sumber dalam artian ini, dapat digunakan untuk al-Qur'an dan al-Sunnah, karena memang keduanya adalah wadah yang dapat ditimba darinya hukum-hukum shara'. Akan tetapi, tidak dapat digunakan untuk ijma' dan qiyas, karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma' dan qiyas itu, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum. Sementara itu kata dalil dapat digunakan untuk al-Qur'an dan al-Sunnah, juga dapat digunakan untuk ijma' dan qiyas, karena semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah .
Ijma' sebagai dalil hukum inilah yang akan menjadi topik pembahasan dalam makalah ini. Ijma' sebagai dalil hukum, menuai pro dan kontra di kalangan ulama'. Sebagian berpendapat bahwa ijma' harus dilakukan oleh seluruh mujtahid di dunia, dan bahkan ada pendapat bahwa keikutsertaan orang awam juga diperhitungkan dalam pembahasan ijma'. Sementara itu, hal tersebut tidaklah mungkin terjadi khususnya dalam masa seperti sekarang. Perdebatan itu terus berkembang sampai pada; apakah kesepakatan mayoritas dapat dikatakan sebagai ijma'. Untuk lebih jelasnya mengenai ijma' ini, kami ulas pembahsannya dalam bab 2.
BAB II
PEMBAHASAN
IJMA'

A. Pengertian Ijma'
Secara etimologi, ijma' mengandung dua arti:
1. Ijma' dengan arti العزم علي الشيء atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah SWT;
فاجمعوا امركم وشركاءكم
…, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)…

2. Ijma ' dengan arti kesepakatan.
فلما ذهبوا به واجمعوا ان يجعلوه في غيابة الجب
"Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur."

Pengertian yang kedua ini juga membutuhkan ketetapan hati juga. Perbedaannya terletak pada kuantitas orang yang berketapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sementara pengertian yang kedua memerlukan tekad atau ketetapan hati kelompok .
Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian ijma'. Menurut al- Naz}z}am, ijma' adalah setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapan dibantah. Imam Ghazaly, merrumuskan ijma' dengan "kesepakatan umat Muhammmad secara khusus mengenai urusan agama." Rumusan ini berarti bahwa ijma' harus dilakukan oleh umat Muhammad saw (umat Islam) secara keseluruhan termasuk orang awam. Al- Ghazaly juga tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma' harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, ijma' tidak diperlukan, sebab keberadaan Nabi adalah sebagai sumber tashri' secara langsung dan tidak memerlukan ijma' .
Abu Zahrah mengartikan bahwa ijma' dengan kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah, terhadap suatu hukum syara' yang bersifat 'amaliyah. Dengan demikian pengertian hanya dibatasi berkaitan dengan persoalan-persoalan furu' (amaliyah praktis).
Berbeda dengan pendapat di atas, al-Amidy merumuskan ijma' dengan "kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-'aqdi dari umat Muhamad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa atau kasus". Berdasarkan rumusan ini hal ini menunjukkan bahwa yang terlibat dalam ijma' tidak semua orang melainkan orang-orang tertentu yang bertanggung jawab langsung terhadap umat. Oleh sebab itu orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma'.

B. Kehujjahan Ijma'
Jumhur ulama us}ul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma' telah terpenuhi, maka ijma' tersebut menjadi hujjah yang qat}'iy (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu permasalahan yang ditetapkan hukumnya melalui ijma', menurut para ahli us}ul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama' generasi berikutnya. Karena hukum yang ditetapkan ijma' merupakan hukum qat{'iy dan menempati urutan ketiga sebagai dalil shara' setelah al-Qur'an dan al-Sunnah.
Lebih lanjut lagi disebutkan ijma' adalah hujjah yang mendatangkan ilmu serta di-shari'at-kan sebagai kemulyaan bagi Ummat Nabi Muhammad. Mereka yang menentangnya dianggap sama seperti menentang Rasulullah saw., dan berhak atas neraka.
Dasar ketetapan ijma' menurut Jumhur ulama adalah sebagai berikut ;
1. Firman Allah SWT;
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا (النساء: 115)
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali".

Berdasarkan ayat ini, diharamkan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Karena orang yang melakukannya berarti menentang allah dan Rasul-Nya serta akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.
2. Hadis Nabi saw.;
لاتجتمع امتي علي ضلالة
"Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan"
ماراءه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"Apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai baik maka menurut Allah Swt. itu juga baik".

Berbeda dengan pendapat di atas, yaitu pendapat Ibrahim Ibn Siyar al-Naz}z}am, ulama' Khawarij dan juga ulama Shi'ah. Ia berpendapat bahwa ijma' tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.. karena menurutnya ijma' yang digambarkan oleh jumhur ulama' tidaklah mungkin dapat dilakasanakan, mengingat kretentuan ijma' menurut Jumhur adalah menghadirkan seluruh ulama' pada suatu masa di berbagai belahan dunia Islam untuk berkumpul. Padahal yang demikian itu adalah mustahil untuk dilaksanakan. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai struktur sosial, dan budaya yang berbeda.
Sebagian lain yang berpendapat bahwa mengingkari ijma' tidaklah dianggap kafir beralasan karena pada dasarnya dalil kehujjahan ijma' tidaklah qat}'i melainkan z}anny, sehingga tidak mendatangkan faidah ilmu.atas dasar itu, pengingkaran terhadap yang z}anny tidaklah dapat dikatakan sebagai kufur.
Ada ulama lain yang memberi batasan bahwa apabila hukum ijma' tersebut menyangkut kepentingan agama (d}aruriyyat al-din), maka mengingkarinya berarti kufur. Akan tetapi, sebaliknya, jika tidak berkenaan dengan masalah agama di atas maka tidak termasuk kufur .

C. Rukun Ijma'
Jumhur ulama' Mengemukakanbahwa rukun ijma' itu ada lima, yaitu:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum melalui ijma' tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya sedikit, maka hukum itu tidak dinamakan hukum ijma'.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya.
4. kesepakatan itu ditampakkan dengan mengemukakan pendapat baik dengan perkataan atau perbuatan. Adapaun apabila sebagian mujtahid mengemukakan pendapatnya sedangkan para mujtahid yang lain diam (ijma' sukuty), maka dalam hal ini masih diperselisihkan di kalangan para ulama' Us{ul.
5. Kesepakatan dihasilkan secara seketika, yaitu pada waktu berkumpulnya para mujtahid dan tidak di majlis yang berbeda-beda.
Disamping kelima rukun di atas, Jumhur ulama us}ul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma' sebagai berikut;
a. Mereka yang melakukan ijma' adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil.
c. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid'ah.
Ketiga syarat itu disepakati oleh seluruh ulama us}u.l fikih. Ada juga syarat lain yang tidak disepakati para ulama, di antaranya; Para mujtahid itu adalah sahabat nabi, mujtahid itu kerabat Rasulullah, mujtahid itu adalah ulama' Madinah, hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya dan tidak ada hukum ijma' sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama .

D. Tingkatan Ijma'
Dilihat dari terjadinya kesepakatan terhadap hukum shara' itu, para ulama us}ul fiqh membagi ijma' kepada dua bentuk yaitu sebagai berikut:
1. Ijma' S}arih}, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa atau kejadian.
Ijma' seperti ini merupakan ijma' yang dijadikan hujjah dan mempunyai ketetapan qat'}iy menurut kesepakatan para jumhur fukaha'. Baik mereka yang berpendapat bahwa ijma' dapat dilakukan dan terjadi di setiap masa atau mereka yang berpendapat bahwa ijma' hanya dapat terjadi di masa S}ahabat nabi saja .
2. Ijma' Sukuty, yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatnya tentang suatu hukum masalah dalam masa tertentu, sedang sebagian mujtahid yang lain tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai persetujuannya atau perbedaan pendapatnya.
Mengenai ijma' ini, para ulama masih berbeda pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa ijma' sukuty tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Sebagian mengemukakan bahwa ia adalah ijma' akan tetapi kekuatannya lebih rendah dan berada di bawah derajat ijma' s}arih. Kemudian pendapat yang lain mengemukakan bahwa ijma' sukuty }dapat dijadikan sebagai hujjah tetapi bukan suatu ijma'.
Adapun mengenai kedudukan ijma' sukuty, berikut ini pendapat beberapa ulama ;
a. Imam Shafi'iy dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma' sukuty itu bukan ijma' yang dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai ketetapan hukum yang mengikat.dengan demikian dapat dimengerti bahwa ijma' sukuty tidak dapat dijadikan hujjah. Termasuk yang berpendapat seperti ini adalah ulama Malikiyah dan Abu Bakar al-Baqillany.
b. Imam Ahmad Ibn Hanbal, kebanyakan ulama Hanafiyah, sebagian ulama Shafi'iyah dan al-Jubba'iy (ulama Mu'tazilah) berpendapat bahwa ijma' sukuty adalah ijma' yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai hujjah. Di antara kelompok ini ada yang mensyaratkan telah berlalunya masapenyampaian pendapat itu dan semua ulama mujtahid pada masa itu telah meninggal serta tidak ada pendapat yang menyanggah hasil ijma' tersebut .
c. Sebagian ulama lain, diantaranya Abu Hashim, berpendapat bahwa ijma' sukuty itu bukanlah ijma'. Tetapi meskipun demikian ia dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
d. Aby 'Aly Ibn Aby Hurairah (ulama Syafi'iyah) berpendapat bahwa pendapat yang tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau penetapan putusan hukum dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang menyanggahnya, maka diamnya ulama itu tidak dapat disebut ijma'. Tetapi bila hasil ijtihad itu disampaikan dengan lisan atau fatwa yang disebarluaskan dan ternyata tidak ada ulama lain yang menyampaikan sanggahan atau dukungannya, maka diamnya ulama itu dapat disebut ijma'.
Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan alasan ulama yang mengatakan bahwa ijma' sukuty adalah ijma' yang dapat dijadikan hujjah ;
1). Diamnya para ulama setelah mngetahui suatu hukum hasil ijtihad yang dikemukakan seorang mujtahid adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dari berbagai segi. Adalah kewajiban para ulama untuk mempelajari ijtihad ulama lain yang diungkapkan di zaman mereka. Apabila seorang ulama mengemukakan dan menyebarluaskan hasil ijtihadnya dalam suatu kasus, sementara itu ulama lain setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu-diam saja, maka hal itu menunjukkan persetujuannya. Karena, para ulama us}ul fiqh sepakat menyatakan:
السُّكوتُ في مَوْضعِ البيَانِ بيانٌ
"Diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan".
2). Adalah tidak dapat diterima (tidak layak) jika para ahl fatwa diam saja ketika mendengar adanya fatwa ulama lain. Karena sesuai dengan kebiasaan di lingkungan para ulama fatwa, yaitu jika ada seorang ulama mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu kasus, maka para ulama lain harus menanggapinya jika fatwa itu dianggap tidak benar. Karenanya apabila ulama itu diam saja, maka sikap diam ter\sebut dianggap sebagai pertanda setuju. Di samping itu, apabila para ulama lain yang tidak mengeluarkan fatwa hukum menganggap fatwa itu menyimpang dari nas}s} atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama, lalu mereka diam saja, maka mereka berdosa. Sehingga merupakan kewajiban bagi merka untuk mempoelajari, menganalisa dan membantah suatu fatwa bila ternyata fatwa itu dianggap menyimpang dan salah.
Sementara itu dasar atau alasan ulama yang berpendapat bahwa ijma' sukuty bukan lah ijma' tetapi dapat dijadikan hujjah, adalah karena pada hakikatnya ia bukanlah ijma' karena di dalamnya tidak terkumpul syarat-syarat ijma'. Akan tetapi dianggap sebagai hujjah karena lebih kuatnyaatau keunggulan mereka yang sepakat dari pada yang tidak sepakat.

E. Sandaran Ijma'
Sandaran ijma' adalah dalil yang menjadi pegangan para mujtahid untuk menetapkan apa yang mereka sepakati. Menurut jumhur ulama ijma' harus mempunyai landasan hukum dari nas}s} atau qiyas. karena mengemukakan suatu fatwa tanpa sandaran adalah salah (الخطاء), pasalnya pendapat tersebut dikemukakan tanpa suatu ilmu. Meskipun demikian, di kalangan ulama sendiri trdapat perbedaan pendapat mengenai jenis landasan ijma' tersebut .
Mayoritas ulama mengatakan bahwa landasan ijma' itu bisa dari al-Qur'an, sunnah mutawatir, serta bisa juga dari berdasarkan dari dalil dhanny seperti hadis ahad dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma' yang dilakukan para sahabat tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri adalah didasarkan pada hadis ahad.
Demikian juga kesepakatan para sashabat menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi saw. dengan meng-qiyas-kannya kepada sikap Nabi saw yang menunjuk Abu Bakar sebagai Imam Shalat ketika beliau berhalangan. Para sahabat juga ber-ijma' bahwa lemak babi adalah haram dengan mengkiyaskannya kepada daging babi. Di lain itu, para sahabat juga bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum minuman keras di zaman 'Umar Ibn al-Khattab.
Ulama Z}ahiriyah, Shi'ah dan ibn Jarir al-T}abary mengatakan bahwa landasan ijma' itu harus dalil qat'iy. Menurut mereka ijma' itu adalah dalil yang qat'iy sehingga tidak mungkin dalil yang qat'iy itu disandarkan pada dalil yang z}anny seperti hadis ahad dan qiyas., karena hasil dari yang z}anny akan tetap z}anny. Ibn Hazm menambahkan ijma' dengan qiyas adalah batal. Karena kedudukan qiyas masih belum disepakati. Sehingga bagaimana mungkin mereka ber- ijma' berdasarkan sesuatu yang belum disepakati.
Berbeda dengan hal di atas, yaitu permasalahan, apakah ilham dapat dijadikan dalil ijma' . menurut ulama jumhur ilham tidak dapat dijadikan dalil dalam penetapan hukum. Akan tetapi sebagian ulama' seperti Fakhr al-Razy, Ibn S}olah, dan ulama Shi'ah berpendapat bahwa ijma' harus disandarkan pada dalil dan ilham adalah termasuk dalil dari beberapa dalil.
Sejalan dengan perbedaan pendapat di atas, para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan mas}lahah} mursalah} sebagai landasan ijma'. Para ulama menerima mas}lahah} mursalah sebagai suatu dalil untuk menetapkan ijma', dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubah maka ijma' pun bisa berubah. Sebagaimana para ahli fikih Madinah berpendapat bahwa menetapkan harga hukumnya adalah boleh. Para imam Madhhab juga bersepakat mengenai larangan orang yang mempunyai hubungan kekerabatan menjadi saksi. Selain itu, para sahabat juga sepakat menyatakan bahwa tanah negeri yang ditaklukkan, tidak dibagikan kepada para penakluknya, tetapi diserahkan kepada penduduk setempat dengan syarat penduduk itu mengeluarkan pajaknya, untuk kepentingan bait al-mal, gaji para Hakim, buruh, tentara, anak-anak yatim dan untuk orang-orang yang membutuhkan.

F. Perbedaan Batasan Ulama Mengenai Ijma'
1. Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma'
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama' tentanga umat yang awam atau yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota Ijma', dalam arti: apakah kesepakatan mereka menentukan sahnya ijma' dan ketidaksepakatan mereka meanyebabkan tidak sahnya ijma'.
Jumhur ulama' berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijma'. Maksudnya, meskipun umat yang awam menolak atau menerima apa yang telah disepakati oleh ulama' mujtahid, maka ijma' tetap dapat berlangsung, karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma' adalah orang-orang yang mampu memahami sumber fikih dan mengeluarkan hukumnya. Ini hanya mungkin dilakukan oleh ulama' mujtahid dan umat awam tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
2. Ijma' sesudah masa sahabat
Terdapat perbedaan ulama' mengenai, dalam hal apakah ijma' itu hanya terbatas pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama' yang menyatakan bahwa ijma' itu mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma' tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada masa ijma' itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi kekuatannya.
Alasan yang dikemukakan kelompok ini ialah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma' tidak keluar dari al-Qur'an, sunnah dan logika. Setiap dalil itu tidak memisahkan antara penduduk satu masa dengan masa yang lainnya. Dalil itupun menjangkau para ahli pada setiap masa sebagaimana menjangkau para ahli pada masa sahabat.karena itu ijma' pada setiap masa mempunyai kekuatan hukum atau hujjah.
Daud al-Z}ahiry serta pengikutnya dari kelompok Z}ahiriyah dan Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan berbeda pendapat dengan jumhur ulama' tersebut. Mereka berpendapat bahwa ijma' yang mempunyai daya hujjah hanyalah ijma' pada masa sahabat, karena pada masa itulah memungkinkan terjadinya ijma' secara praktis, sebab waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan wilayah domisili mereka relatif berdekatan. Hanya dalam masa itulah ijma' dapat terlaksana menurut syarat-syarat yang ditentukan.
3. Kesepakaktan mayoritas
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal "apakah kesepakatan mayoritas ulama (mujtahid) dapat dikategorikan sebagai ijma'". Menurut jumhur ulama tidak sah ijma' yang hanya disepakati oleh mayoritas ulama sedangkan ada minoritas yang menentangnya.
Abu Husayn ibn Khayyat dari Mu'tazilah, Ibn Jarir al-T}abary, Abu Bakar al-Razy berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sudah dapat menghasilkan ijma' . Perndapat ini diperkuat dengan dalil bahwa Abu Bakar diterima sebagai Khalifah oleh umat adalah atas dasar kesepakatan mayorita sahabat waktu itu meskipun beberapa sahabat seperti Aly Ibn Aby T}alib dan Sa'ad Ibn 'Ubadah tidak sepakat terhadap hal tersebut.
Sebagian ulama bependapat bahwa bila jumlah minoritas itu mencapai tingkat mutawatir, maka ketidaksepakatan mereka menyebabkan tidak terlaksananya ijma'. Sebaliknya, apabila jumlah mereka kurang dari bilangan mutawatir maka ketidaksepakatan mereka tidak mempengaruhi kelangsungan ijma' .
4. Kesepakatan ulama Madinah
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ulama Madinah saja tidak merupaskan kekuatan hujjah terhadap ulama' lain yang tidak sependapat dengan itu; karena kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijma'. Alasannya adalah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan Ijma' itu, mencakup ulama secara keseluruhan.
Malikiyah dalam hal ini mengatakan bahwa kesepakatan ulama Madinah adalah Ijma' dan mempunyai kekuatan hujjah terhadap ulama lain yang menyalahinya. Di antara ulama ada yang menjelaskan mengenai kehujjahan Ulama Madinah itu adalah periwayatan ulama Madinah lebih kuat dibandingkan dengan periwayatan ulama lain di luar Madinah. Sedangkan ulama Malikiyah yang lain mengulas bahwa kehujjahannya berarti kesepakatan ulama Madinah lebih utama meskipun tidak dilarang untuk menyalahinya .

G. Cara Mengetahui Ijma'
Bila telah berlangsung sebuah ijma' maka ia mempunyai kekuatan hukum atau hujjah untuk umat pada masa berlangsungnya ijma' itu dan untuk masa sesudahnya. Tentang bagaimana caranya kaum muslimin mengetahui bahwa ijma' tentang suatu hukum telah berlaku dan mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan dari satu orang kepada oarng lain dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian ijma' itu ditetapkan melalui khabar atau periwayatan.
ijma' adalah dalil hukum yang bersifat qat}iy atau meyakinkan kebenarannya. Karena itu penukilan dan penyebarlusannya pun haruslah dengan cara meyakinkan pula, yaitu melalui khabar mutawatir, supaya sifat qat}iy pada asal hukumnya dapat diimbangi dengan qat}iy dalam segi sanad-nya.
Tentang penukilan ijma' melalui khabar ahad, terdapat perbedaan ulama. Sebagian ulama Shafi'iyah, sebagian ulama Hanafiyah dan ulama Hanbali, berpendapat bolehnya menukilkan ijma' dengan khabar ahad. sedangkan sekelompok ulama Hanabilah dan sebagian Shafi'iyah –seperti al-Ghazaly- berpendapat tidak boleh menukilkan ijma' dengan khabar ahad. Kedua kelompok ulama yang berbeda pendapat ini sepakat menyatakan ijma' yang dinukilkan melalui khabar ahad, kekuatan hukumnya bersifat z}anny, meskipun ia bersifat qat}'iy dari segi materi hukumnya.
Kelompok ulama yang memboolehkan penukilan ijma' melalui khabar ahad menggunakan alasan dengan nas}s} dan qiyas. Adapun alasan nas}s} adalah sabda nabi saw.:
نَحْنُ نحْكُمُ بالظّوَاهِرِ واللهُ يتولى السَّرَائِرَ
"Kami menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menyukai yang tersembunyi"

Kata z}ahir dalam hadis tersebut disebutkan dengan menggunakan alif-lam jinsiyah yang menunjukkan keumumannya, termasuk di dalamnya ijma' yang ditetapkan dengan khabar ahad, karena ia adalah z}ahir dan z}anny. Itulah yang dapat dicapai oleh manusia, sedangkan selebihnya itu diserahkan kepada Allah.
Adapun dalil qiyas yang mereka kemukakan ialah bahwa khabar ahad tentang adanya ijma' menimbulkan z}ann (dugaan kuat). Karenanya mengandung hujjah sebagaimana khabar ahad yang berasal dari hadis Nabi yang diakui kehujjahannya.
Kelompok ulama yang menolak penetapan ijma' berdasarkan khabar ahad beralasqan bahwa ijma.' Yang dinukilkan berdasarkan lisan yang ahad merupakan salah satu sumber fikih seperti qiyas dan khabar ahad dari Rasul. Tidak ada ijma' yang qat}'iy yang menunjukkan kebolehan berhujjah dengannya yang tidak didukung oleh dalil nas}s} yang qat}'iy dari al-Qur'an dan Sunnah. Selain dari z}ahir tersebut, tidk dapat dijadikan hujjah dalam us}ul, meskipun dapat dijadikan hujjah dalam masalah furu' .
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara ulama yang membolehkan dan yang menolak penukilan ijma' dengan khabar ahad berkisar sekitar dalil as}al itu disyaratkan harus qat}{'iy atau tidak. Ulama yang mensyaratkan as}al itu harus qat}'iy, menolak penggunaan khabar ahad dalam menukilkan ijma'. Sedangkan ulama yang tidak mensyaratkan dalil as}al harus qat}'iy, berpendapat bahwa ijma' yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan hujjah.

H. Kemungkinan Terjadinya Ijma'
Para ulama berbeda pendapat mengenai kemungkinan terjadinya ijma' menurut Jumhur Ulama, ijma' mungkin dapat terjadi sebagaimana hal itu dalam kenyataan telah terjadi di masa sahabat . Abu Zahrah dalam hal ini mengemukakan bahwa kesepakatan atau ijma' yang dilakukan oleh ulama secara keseluruhan adalah tidak mungkin terjadi. Pasalnya, para mujtahid berada ditempat yang berbeda dan tidak mungkin untuk mempertemuksan mereka dalam satu tempat.
Selanjutnya, Menurut mereka yang mengingkari ijma' seperti Ibrahim al-Naz}z}am al-Qashany dari golongan Mu'tazilah dan kelompok Khawarij, bahwasannya ijma' itu adalah mustahil untuk terlaksana di samping bahwa keberadaan ijma' itu tidak dibutuhkan. Dalam hal ini mereka berargumentasi dengan dalil firman Allah swt., sebagai berikut;
ياأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" .

Menurut mereka ketika terjadi perselisihan pendapat mengenai suatu perkara maka berdasarkan ayat ini diperintahkan untuk dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya, serta tidak diperintahkan berdasar ayat ini untuk dikembalikan atau diserahkan kepada umat. Menurut mereka lebih lanjut berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Mu'adh yang menjelaskan tentang tata cara ijtihad tidak menyebutkan tentang ijma'.
Di lain itu menurut Ibn Ahmad Ibn Hanbal mengatakan, siapa yang berkata adanya ijma' terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma' terhadap suatu masalah.apabilah ada yang bertanya apakah ijma' itu ada dan secara aktual terjadi, maka menurut Ahmad Ibn Hanbal jawabannya yang paling tepat adalah "kami tidak mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini'. Atas dasar ini Ibn Hanbal tidak menerima ijma' kecuali ijma' yang dilakukan para sahabat, pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Syafi'y, dan dua ahli fikih Hanbaly, yaitu Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Abdul Wahhab Khallaf, memberikan suatu alternatif jalan keluar untuk terjadinya ijma' yakni bahwa besarnya kemungkinan terjadinya ijma' terutama pada masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma', ditangani oleh suatu Negara dengan bekerja sama dengan Negara-negara lain yang meyoritas penduduknya beragama Islam. Setiap Negara mempunyai standar tertentu untuk menyatakan seseorang sebagai Mujtahid dan memberikan ijazah kepada mujtahid tersebut sehinggga dengan demikian semua mujtahid di dunia ini dapat diketahui .

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ijma' sebagai suatu kesepakatan dan hujjah masih diperselisihkan oleh para ulama. Beberapa syarat yang ketat sebagaimana menurut ulama jumhur memungkinkan ijma' untuk tidak dapat dilaksanakan, di antaranya adalah bahwa ijma' harus dilakukan oleh seluruh mujtahid. Meskipun ulama jumhur sendiri memberi sinyal bahwa ijma' masih mungkin untuk dilakukan, akan tetapi sebagaimana diungkap oleh Abu Zahrah, hal tersebut tidak mungkin terlaksana karena tidak mungkin untuk mempertemukan seluruh mujtahid dalam satu tempat.
Hal seperti di atas inilah yang membuat segolongan ulama mengingkari adanya ijma' seperti al-Naz}z}am dan golongan ulama Khawarij, atau setidaknya ijma' tidak dapat dilaksanakan dalam masa sekarang ini, karena sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal ijma' hanya dapat terlaksana pada masa sahabat. Pendapat ini juga yang disepakati oleh Syafi'i, Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidy, Saifuddin Aby al-Hasan 'Aly ibn Aby 'Aly Ibn Muhammad. Al-Ihkam fy Us}ul al-Ahkam. Libanon: Dar al-Fikr al-Ilmiyah, tt.
Bik, Muh}ammad Khud}ari. Us}ul al-Fiqh. Beirut: dar al-Fikr, 1988.
Al-Haj, Ibn Amir. al-Taqrir wa al-Tahbir. Jilid III. Mesir: al-Matba'ah al-Amiriyah, 1316 H.
Al-H}akim, Muhammad Taqiyy. al-Us}ul al-'Ammah li al-Fiqh al- Muqarin. Beirut: Dar al- Nahd}ah al-'Arabiyyah, 1971.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Al-Khabbazy, Jalal al-Din Aby Muhammad 'Umar bin Muhammad bin 'Umar. Al- Mughny fy Us}ul al-Fiqh. Makkah: al-Mamlakah al-'Arabiyyah al-Su'udiyah Jami'ah umm al-Qura, 1403 H.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Al-Z}ahiry, Aby Muhammad 'Aly IbnAhmad ibn Sa'id ibn Hazm. al-Ihkam fy Us}ul al-Ahkam. Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, tt.
Zahrah, Muhammad Abu. Us}ul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-'Araby, tt.
Al-Zuhayly, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islamy. Juz I. Damaskus: dar al-Fikr,1986.

Tidak ada komentar: