Senin, 18 Agustus 2008

Ijtihad Induktif dan Deduktif

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ahli hukum Islam mendefinisikan hukum Islam dalam dua sisi, yaitu hukum Islam sebagai ilmu dan hukum Islam sebagai produk ilmu. Sisi terakhir ini, hukum Islam disebut dengan kumpulan hukum-hukum shara' yang dihasilkan melalui ijtihad. Hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang mengupayakan lahirnya hukum shar'i 'amali dari dalil-dalil rinci.
Hukum Islam sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan, yaitu sebagai berikut ;
1. Hukum Islam dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu.
2. Pengetahuan-pengetahuan itu terjaring dalam suatu kesatuan sistem, dan
3. Mempunyai metode-metode tertentu
Pengetahuan dalam hukum Islam meliputi pengetahuan tentang dalil-dalil (nas}s}-nass}}), perintah, larangan, dan lain-lain. Pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang dimaksud misalnya asas tashri' bertahap, sedikitnya tuntutan shara', dan meniadakan kesulitan. Tersusunnya pengetahuan-pengetahuan itu dengan baik tidak lepas karena setiap pengetahuan terkait satu sama lain secara fungsional dalam suatu sistem tertentu. Karakteristik selanjutnya dari hukum Islam sebagai ilmu adalah adanya metode-metode tertentu dalam hukum Islam. Metode-metode tersebut tertuang dalam us}ul al-fiqh dan qawa'id al-fiqhiyah yang dalam operasionalnya meliputi antara lain sebagai berikut;
1. Metode deduktif (istidlal), yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau menginterpretaasikan dalil-dalil al-Qur'an dan al-Sunnah menjadi masalah-masalah us}ul al-fiqh.
2. Metode induktif (istiqra'i), adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan hukum atas suatu masalah yang memang tidak disebutkan rincian ketentuannya dalam nas}s} al-Qur'an .
3. Metode kausasi (ta'lili), yaitu berhubungan dengan suatu kasus dengan menganalogikannya dengan kasus lain karena adanya kemiripan sebab atau 'illat .
Dari karakteristik hukum Islam sebagai ilmu diatas menunjukkan bahwa apapun yang dihasilkan hukum Islam adalah produk penalaran yang berarti pula menerima konsekuensi-konsekuensinya sebagai ilmu. Di antara konsekuensi-konsekuensi itu adalah ;
1. Hukum Islam sebagai ilmu adalah skeptis
2. Hukum Islam sebagai ilmu bersedia untuk dikaji ulang
3. Hukum Islam sebagai ilmu tidak kebal kritik
Skeptisitas hukum Islam sebagai ilmu berarti bahwa pernyataan-pernyataan atau keputusan-keputusan yang dihasilkan hukum Islam melalui metode dan pendekatan-pendekatannya hanya bernilai relatif. Kapasitas nilai nisbi adalah mendekati kebenaran mutlak, jadi artinya kapasitas kerelatifan adalah kebenaran nisbi, yaitu suatu kebenaran yang dihasilkan ijtihad. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ijtihad tidak hanya upaya untuk memahami nas}s} saja, sementara ada masalah-masalah yang tidak tercakup dalam nas{s}} karena terjadinya perkembangan dan perubahan prkembangan manusia. Kondisi inilah yang dinyatakan Shahrastani bahwa nas}s}-nas}s} boleh saja berhenti, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum tidak pernah berhenti, sesuatu yang tidak terhenti tidak diatur oleh sesuatu yang terhenti .
Skeptisitas hukum Islam seperti disebutkan diatas jelas memberi peluang dikaji ulang. Artinya, kesimpulan-kesimpulan hukum Islam bersedia untuk diuji. Misalnya pengujian dan pengkajian ulang terhadap kesimpulan hukum Islam yang dihasilkan dari metode Induktif (istiqra'i) yang pernah dilakukan oleh Imam Shafi'i dalam menentukan waktu lamanya menstruasi bagi wanita.
Ada kemungkinan generalisasi Shafi'i terhadap seluruh wanita berdasarkan sampel wanita Mesir tidak tepat sebab fisik dan genetik manusia di dunia ini tidak sama, apalagi bila bioteknologi ikut campur tangan. Akibatnya, kemungkinan bias dari sampel yang ditetapkan adalah mustahil. Oleh karena itu, tetap berpeluang terhadap masalah ini untuk dilakukan eksperimen. Demikian pula kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh metode analogi, bersedia untuk diuji dan dikaji ulang karena analogi berfokus pada kategori yang kriterianya nisbi.
Konsekuensi lebih lanjut dari hukum Islam sebagai Ilmu adalah bahwa hasil-hasil kajian dan metode hukum Islam tidak kebal kritik. Artinya, ketetapan menggunakan metode dan pendekatan tertentu terhadap suatu keputusan terbuka untuk dikritik. Upaya ini dapat dilakukan melalui studi perbandingan mazhab, tarjih} dan tas}h}ih}. konsekuensi inilah yang menunjukkan bahwsa suatu pemikiran hukum Islam (ijtihad) bisa jadi benar, tetapi ada kemungkinan salah dan inilah yang memberi peluang untuk dilakukan kritik.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas yang menerangkan bahwa Metode-metode hukum Islam tidak kebal kritik lantaran merupakan hasil penalaran. Maka penulis dalam hal ini tergerak untuk mengkaji lebih lanjut prihal metode hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas. Dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana metode istidlal (deduktif) dalam hukum Islam?
2. Bagaimana metode istiqra' (induktif) dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana metode ta'lili (kausasi) dalam hukum Islam?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan metode sebagai berikut;
1. Data yang dikumpulkan
a. Data tentang tentang ijtihad istimbat}i dalam literatur hukum Islam.
b. Data tentang ijtihad tat}biqi dalam literatur hukum Islam.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Kedua sumber tersebut dihimpun dari literratur-literatur atau buku-buku berkenaan dengan ijtihad istimbat}i dan tat}biqi. Untuk lebih jelasnya kami uraikan sebagai berikut:
a. Sumber primer
1). Us}ul Fiqh, karangan Muh}ammad Abu Zahrah
2). Us}ul Fiqh al-Islami, karangan Wahbah al-Zuhayli.
3). Al-Muwaffaqat fy Us}ul al-Shari'ah, karangan Abu Ish}aq al-Shat}ibi.
4). Al-Ibhaj fy sharh} al-Manhaj, karangan 'Aly bin Abd al-Kafi al-Sabki.
5). Us}ul al-Fiqh; 'inda Ahl al-Sunnah wa al- Jama'ah, karangan Muhammd bin H}usayn bin H}asan alk-Jaizani.
6). 'Ilm Us}ul al-Fiqh, karangan Abd al-Wahhab Khallaf.
b. Sumber sekunder.
1). Fiqh (Hukum Islam) antara Pemikiran Teoritis dengan Praktis, karangan Abdul Wahab Afif.
2). Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, karangan Amir Muallim Yusdani.
3). Al-Ih}kam fy Us}ul al-Ah}kam, Ibrahim al-'Ajuz.
4). Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, karangan Amir Mu'allim, dan Yusdani.
5). Metodologi Ijtihad Hukum Islam, karangan Jaih Mubarrak.
6). Fiqh Dan Nalar Induktif Kajian Atas Qawa'Id Al Fiqhiyah Dalam Perspektif Induksi (Desertasi), karangan 'Abdul Mun'im.
7). Filsafat Hukum Islam, karangan Juhaya S. Praja.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yaitu dengan menghimpun data dari buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah ijtihad istimbat}i dan tat}biqi. Kemudian dilakukan analisis dari data-data yang ada agar relevan judul yang dibahas.
4. Teknik Analisis Data
Setelah pengolahan data tersebut dapat dilakukan dengan baik, maka dilakukan langkah penelitin selanjutnya dengan menggunakan metode sebagai berikut ;
a. Metode deskriptif ; yaitu memberikan gambaran secara jelas, objektif, sistematik dan komprensif dari sebuah objek tentang realitas yang terdapat dalam masalah yang diselidiki dengan cermat dan teliti.
b. Metode analitik; yaitu menganalisa secara kritis terhadap isi dari data-data yang telah ada (content analysis).
Dengan demikian penulisan makalah ini bersifat deskriptif-analitik.












BAB II
PEMBAHASAN

IJTIHAD ISTIMBAT}I DAN TAT}BIQI

A. Istidlal (penalaran deduktif)
Istidlal dalam segi etimologi adalah mencari dalil dan jalan yang menunjukkan kepada sesuatu yang dicari.
Dalam segi istilah istidlal dapat diartikan dengan mengemukakan dalil baik dalil itu berupa nas}s} atau ijma' atau qiyas dan lain sebagainya. Istidlal juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk dalil dari macam-macam dalil yang lain . Maksud dalam pembahasan pada makalah ini adalah penunjukkan lafaz} nas}s} terhadap suatu makna atau hukum.
Istidlal merupakan bentuk penalaran deduktif dalam Hukum Islam dalam arti bahwa kesimpulan hukum atau makna, diambil dari dalil-dalil umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau menginterpretaasikan dalil-dalil al-Qur'an dan Hadis yang menjadi masalah-masalah us}ul al-fiqh .
Abdurrahman I. Do'I , mengemukakan bahwa istidlal adalah proses mencari petunjuk landasan dan bukti dari beberapa sumber meskipun pengertian bahasannya hanya berisi sebuah argumentasi atau pembuktian dengan dalil.
Menurut ulama' Hanafiyah penunjukkan lafaz} terhadap makna dapat dibedakan menjadi empat, yaitu dilalat al-'ibarat, isharat al-nas}s}, dilalat al-nas}s}, dan dilalat al-iqtid}a'. Jumhur ulama menambahkan dengan kaidah yang kelima yaitu mafhum al-mukhalafah.
1. Dilalat al-'Ibarat, yaitu;
هي عبارة الكلام علي المعنى المقصود منه إما أصالة أو تبعا
"Penunjukkan kalimat terhadap makna yang dimaksudkan baik makna asli maupun makna tidak asli" .
Imam al-Bazdawi, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Adib Shalih}, menyatakan bahwa yang dimaksud dilalat al-'Ibarat adalah :
العمل بظاهر ما سيق الكلام له
"Mengamalkan z}ahir lafaz} dari sisi susunan kalimat (siyaq al-kalam)".
Misalnya adalah firman Allah berikut;
واحل الله البيع وحرم الربا
Lafaz} dalam ayat tersebut menunjukkan dua pengertian makna. Pertama adalah makna perbedaan antara jual beli (al-bay' ) dan riba (al-riba). Kedua adalah makna diperbolehkannya jual beli dan diharamkannya riba. Kedua makna ini adalah makna yang dimaksud dari susunan ayat tersebut. Makna yan pertama adalah makna asli berdasarkan bahwa ayat tersebut diturunkan untuk membantah orang-orang yang berkata; إنما البيع مثل الربا . Sedangkan makna yang kedua adalah makna tidak asli, untuk menyampaikan faidah dari makna yang dimaksudkan oleh makna asli.
2. Isharat al-Nas}s}
دلالة الكلام علي المعنى غير مقصود أصالة ولا تبعا ولكنه لازم للمعنى الذي سيق الكلام لإفادته
"Penunjukkan kalimat terhadap suatu makna yang tidak dimaksudkan baik menurut makna asli maupun makna yang tidak asli, tetapi sudah semestinya kalimat tersebut mengandung makna tersebut".

Dalam hal ini Abu Zahrah mencontohkan dengan firman Allah tentang kebolehan poligami sebgai berikut ;
وإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة
Ayat tersebut megandung arti bahwa seseorang tidak diperbolehkan menikah lebih dari satu orang wanita apabila diyakini ia tidak dapat berbuat adil di antara para istrinya. Kemudian dapat dimengerti berdasarkan isyarat ayat tersebut atau makna lazimnya bahwa berbuat adil terhadap isteri adalah wajib baik ia beristeri satu atau lebih dari satu.

3. Dilalat al-Nas}s}
Adapun pengertiannya nya adalah:
دلالة اللفظ على ثبوت الحكم المنطوق به للمسكوت عنه لاشتراكهما في علة الحكم التي يمكن فهمها عن طريق اللغة
"Penunjukkan lafaz} atas ketetapan suatu hukum yang tersurat kepada sesuatu yang tersirat karena adanya kesamaan 'illat yang dapat diketahui secara kebahasaan".

Contohnya adalah firman Allah; (ولاتقل لهما أف ولاتنهرهما). Ayat ini menjelaskan tentang larangan berkata "ah" (أف) kepada orang tua lantaran perkataan itu dapan menyakiti hati orang tua. Selanjutnya, berdasarkan dilalat al-nas}s}-nya ayat itu juga berarti larangan untuk memukul, mencaci atau melakuakan apapun yang dapat menyakiti mereka. Karena perkatan "ah" adalah bentuk menyakiti yang paling ringan, dan hal itu, dari segi kebahasaan, menunjukkan larangan atas semua hal yang dapat menyakiti orang tua.

Dilalat al-nas}s} disebut juga dengan mafhum al-muwafaqah, dan sebagian ulama menamakannya dengan qiyas jali. Namun demikian Dilalat al-nas}s ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahrah, dibedakan dengan qiyas } Dalam qiyas, 'illat yang menghubungkan antara yang tersurat dalam nas}s} dan yang tersirat diketahui dengan istimbat} atau ijtihad shar'i sedangkan dalam dilalat al-nas}s}, persamaan 'illat dapat diketahui dengan mudah dari sudut kebahasaan tanpa memerlukan ijtihad yang mendalam .
4. Dilalat al-Iqtid}a'
هي دلالة اللفظ على كل أمر لايستقيم المعني الا بتقديره
"Penunjukan lafaz} terhadap setiap hal yang maknanya tidak dapat dimengerti kecuali dengan menjelaskannya".
Ulama' us}uliyyun dalam hal ini memberi contoh dengan sabda Nabi saw:
رفع عن أمتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه
Kesalahan apabila telah terjadi maka tidak bisa dihilangkan lagi. Akan tetapi yang dimaksud adalah dosa . Dengan demikian pemahaman nas}s} di atas adalah: رفع عن أمتي (إثم) الخطاء ...... .
5. Mafhum Mukhalafah
Pengertiannya adalah;
دلالة الكلام علي نفي الحكم الثابت للمذكور عن المسكوت لانتفاء قيد من قيود المنطوق
"Penunjukan kalimat terhadap tidak adanya hukum yang tersirat berdasakan apa yang disebutkan dalam nas}s.} (tersurat), karena tidak adanya batasan atau ketentuan yang ada pada yang tesurat" .

Misalnya sabda Nabi Muhammad saw. Sebagai berikut;
مطل الغني ظلم يحلُّ عِرضه وعقوبتُه
"orang kaya yang mengundurkan pembayaran hutang adalah z}alim, maka halal kehormatannya dan boleh menerapkan sanksi terhadapnya".

Berdasarkan Hadis tersebut, penangguhan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya adalah termasuk ke-z}alim-an. Berdasarkankan pemahaman mafhum mukhalafah, maka dapat pahami bahwa penangguhan yang dilakukan oleh orang yang miskin tidak dianggap z}alim.
B. Istiqra' (Penalaran Induktif)
Istiqra' adalah penalaran induktif, yaitu suatu cara untuk mencapai kesimpulan yang bersifat umum atau preposisi universal melalui observasi atas kejadian-kejadian partikular .
Al-Shatibi, mendefinisikan istiqra' dengan penelitian terhadap makna-makna juz'i (khusus) untuk menetapkan kesimpulan hukum yang umum yang bersifat qat}'i atau bersifat z}anni . Lebih lanjut menurut al-Shatiby, kesimpulan hukum dari istiqra' dapat berimplikasi hukum secara mutlak atau qat}'ii apabila cara penentuan hukum yang didalamnya tercakup keseluruhan partikular-partikularnya. Sementara itu, kesimpulan hukum itu akan bersifat z}anni apabila cara penentuan kesimpulan hukum diambil dari kebanyakan partikularnya saja.
Lebih jelasnya, metode induksi ini terbagai menjadi dua yaitu induksi sempurna (istiqra' tamm) dan tidak sempurna (istiqra' naqis}}) . Istiqra' tamm adalah menetapkan suatu kesimpulan berdasarkan keseluruhan partikularnya. Sedangkan istiqra' naqis} adalah menetapkan kesimpulan yang universal berdasarkan kebanyakan partikularnya. Bentuk penalaran induksi yang pertama menghasilkan kesimpulan yang meyakinkaan atau berfaidah qat}'i. Adapun penalaran induksi kedua, menghasilkan preposisi yang kebenarannya relatif atau z}anni.
Al-Shatibi mencontohkan kesimpulan hukum yang menyatakan kemutlakan meniadakan kesulitan (raf' al-h}araj) dalam keseluruhan pembahasan adalah berdasarkan istiqra'. Menurut al-Shatibi, ketetapan syari'at menunjukan bahwa tayammum dapat dilakukan ketika kesulitan mendapatkan air, dibolehkan juga men-jama' antara dua shalat ketika dalam perjalanan dan ketika sakit, duduk dalam shalat ketika tidak mampu atau kesulitan berdiri, menqasar shalat dan membatalkan puasa ketika bepergian, mengucapkan kata kufur karena takut akan dibunuh atau tidak kuasa menahan siksaan, menghadap ke arah manapun dalam shalat ketika sulit menentukan arah kiblat, membasuh sepatu karena sulitnya mencopot serta menghindari bahaya, dan banyak hal partikular lain yang kesemuanya menunjukkan maksud Shari' untuk meniadakan kesulitan.
Al-Sabki, dalam hal ini mencontohkan bahwa shalat witir adalah tidak wajib karena dapat dilaksanakan di atas kendaraan berdasarkan ketepan ijma'. Sedangkan shalat wajib tidak ada yang dikerjakan di atas kendaraan berdasarkan istiqra' . dengan demikian dapat disimpulkan bahwa shalat witir bukanlah shalat wajib.
Istiqra' menurut Shafi'iyah, Malikiyah dan Hanabilah adalah hujjah. Hanafiyah tidak mengenal istilah istiqra' karena menurut sebagian mereka berpendapat bahwa seseungguhnya istiqra' itu merujuk kepada metode qiyas karena mununjuk pada satu sifat tertentu yang mengumpulkan keseluruhan juz'iyat. atau istiqra' itu merujuk kepada 'urf dan al-'adat .

C. Dialektika Deduktif-Induktif Fikih
Hukum Islam (fikih) sebagai kristalisasi reflektif dari penalaran Mujtahid atas teks hukum, selalu sarat dengan muatan ruang dan waktu yang melingkupinya. fikih terlahir di tengah dinamika pergulatan kehidupan masyarakat sebagai jawaban atas problematika aktual yang muncul. Problematika masyarakat selalu berkembang dan berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri. Atas dasar itu, fikih secara otomatis akan selalu berkembang dan berubah selaras dengan perkembangan dan perubahan waktu dan ruang yang melingkupinya. Inilah relevansinya fikih dikatakan dinamis, elastis, dan fleksibel karena selalu cocok untuk semua masyarakat walaupun selalu berubah dan berbeda .
Fikih, secara dinamis mengalami perubahan yang menjadi keharusan yang tidak dapat dielakkan. Hal tersebut didasari fakta bahwa fikih merupakan produk rasional ijtihadiyah para mujtahid yang tidak pernah final . Tentu saja sebagai produk rasional fikih, tidak terlepas dari peranan logika baik deduktif (istidlal) maupun induktif (istiqra').
Ketika suatu kesimpulan hukum yang bersifat khusus (mikro) diambil dari ketentuan atau dalil yang umum maka penalaran semacam ini disebut dengan logika deduktif. Akan tetapi sebaliknya, jika pengambilan kesimpulan yang bersifat umum dihasilkan dari fakta-fakta khusus, maka disebut logika induktif.
Proses deduksi dan induksi sebagaimana disebutkan di atas, dicontohkan Hibben sebagai berikut;
"From a Knowledge of the planetary system we can infer the necessary positions of sun, moon, and earth at any required time, as, for instance, in the calculation of an eclipse. This is deduction. But when we begin with investigating the several movements of the differents planets, and from them infer the necessary nature of the system of which they are parts, we have the process of induction"

Dalam hukum Islam, proses semacam ini dapat kita dilihat dalam contoh keharaman khamr. Ketika seseorang berangkat dari pengetahuan yang terdapat dalam teks (nas}s}) tentang keharaman khamr dan bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr, kemudian dari ketentuan nas}s} tersebut ia melakukan inferensi bahwa narkoba, wiski, dan vodka adalah haram karena mempunyai potensi (essensi) memabukkan yang sama dengan khamr. Maka proses ini disebut deduksi.
Sementara itu jika seseorang berangkat, dari melakukan penyelidikan terhadap narkoba, wiski, dan vodka. Kemudian dari penyelidikan itu, ia menginferensi bahwa semua itu termasuk khamr berdasarkan potensi atau essensi yang ada di dalamnya, maka proses ini dinamakan induksi.
Lebih lanjut Hibben menyebutkan tentang perbedaan antara deduksi dan induksi adalah sama halnya dengan perbedaan antara istilah truth (kebenaran) dan fact (fakta). Sebuah fakta hanya membawa karakter khusus dari kejadian tertentu di tempat ia berada. Sedangkan suatu kebenaran, bagaimanapun juga akan selalu bersifat universal, menginginkan penerapan secara universal dan dapat dilustrasikan dalam berbagai fakta yang berbeda-beda yang di dalamnya terdapat essensi kebenaran tersebut.
Atas dasar itu, apa yang dihasilkan dari kesimpulan deduktif dan induktif pun akan berbeda. Dalam logika deduktif hasil usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi yang sahih, yaitu suatu bentuk deduktif yang jika premis-premisnya benar konklusinya tentu juga benar. Hal ini berbeda dengan kebenaran logika induktif. Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai kebenaran yang pasti, yang ada adalah konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Dengan demikian, hasil usaha analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya berupa ketentuan-ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas setinggi-tingginya .
Kesimpulan induksi akan dapat berupa hukum bila diperkirakan tidak akan terbantah oleh observasi lain. Dalam hal ini, bisa jadi generalisasi Shafi'i terhadap seluruh wanita berdasarkan sampel wanita Mesir untuk menentukan batas menstruasi bagi wanita, tidak tepat atau terbantahkan jika terdapat observasi lain yang bertentangan dengan induksi (istiqra') Shafi'i itu.
Illustrasi mengenai dialiktika deduktif-induktif hukum Islam dalam sebuah kasus adalah sebagai berikut:
Sesorang yang melakukan penyelidikan terhadap minuman wiski, apakah minuman itu haram atau tidak, karena melihat fakta berdasarkan penyelidikan itu bahwa minuman itu berpotensi untuk memabukkan. Penyelidikan itu berlanjut, apakah terdapat dalam nas}s}, suatu ketentuan yang menyebutkan keharamannya secara eksplisit atau ketentuan umum yang memasukkan minuman tersebut dalam suatu hukum tertentu. Proses ini adalah induksi (istiqra').
Selanjutnya, ketika ditemukan dalam nas}s} ketentuan umum berupa larangan dan keharaman tentang minuman yang disebut dengan khamr, dalam firman Allah swt;
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Sedangkan dalam hadis juga disebutkan sebagai berikut;
حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الْعَتَكِيُّ وَأَبُو كَامِلٍ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ
Berdasarkan ketentuan nas}s} di atas dapat dimengerti bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram. Dengan demikian lahirlah hukum Islam (fikih) yang menyatakan bahwa wiski adalah haram karena sama seperti khamr, ia mempunyai potensi memabukkan. Berdasarkan ketentuan us}ul fiqh, melalui metode istidlal (deduksi) secara eksplisit kesimpulan hukum (fikih) itu diambil dengan menggunakan metode analogi atau qiyas dan juga penunjukan lafaz} nas}s} terhadap suatu makna (dilalah al-nas}s}) .
Fikih yang lahir tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga dapat digali lagi dengan nalar induktif, terutama mengenai pengertian "memabukkan", sebagaimana disebutkan di atas Misalnya, mengenai batasan meminum wiski atau khamr, yang tidak sampai pada taraf memabukkan. Dari induksi ini, muncullah kaidah umum (qawaid al-fiqhiyah), yang mengemukakan;
ما اسكر كثيره فقليله حرام
Selanjutnya, kaidah umum ini dapat dijadikan sebagai dasar istinbat} untuk merumuskan fikih baru mengenai persoalan yang akan muncul kemudian. Dengan demikian proses terakhir ini adalah proses deduksi. Untuk lebih jelasnya perhatikan diagram berikut ini;
Fenomena Sosial Induksi Teks Wahyu Deduksi
Us}ul Fiqh

Fiqh baru Deduksi Qawaid al-Fiqhiyah Induksi Fiqh

D. Kausasi (Ta'lili)
Bentuk penalaran hukum Islam yang ketiga adalah kausasi atau yang lazim disebut dengan metode ta'lili. Metode ini didasarkan pada 'illat, atau dapat diketegorikan dalam kelompok penalaran ini adalah semua penalaran yang menjadikan 'illat sebagai titik tolaknya .
Dari segi bahasa 'illat disebut sebagai penyakit, atau sifat z}ahir pada sesuatu yang dapat merubah kondisinya karena sifat tersebut. Bisa juga diartikan nama (tanda) yang menyebabkan berubahnya peristiwa dari bentuk semula. Misalnya kondisi seseorang berubah karena sakit, maka sakit merupakan 'illat .
Sedangkan dari segi terminologi, Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan 'illat sebagai sifat yang mendorong penetapan hukum atau alasan atas pemberlakuan hukum demi kemaslahatan. Menurut Al-Gahazali, 'illat sebagai pendorong terhadap lahirnya sebuah hukum. Apabila 'illat ini terdapat dalam nash secara eksplisit disebut 'illat mans}us}ah dan apabila didapatkan setelah melakukan penelitian yang mendalam, maka disebut dengan 'illat mustanbat}ah .
Dalam bidang Filsafat Hukum Islam term 'illat kadangkala dipakai untuk sinonim sebab (al-sabab). Akan tetapi, seringkali kedua term itu dibedakan pengertiannya. Menurut Juhaya S. Praja , sebab tidak dapat menetapkan hukum, sementara 'illat dapat menetapkan hukum. Di lain itu, sebagaimana dikemukakan Jaih Mubarrak , sebab lebih umum dari pada 'illat. sehingga dapat dikatakan bahwa setiap 'illat itu adalah sebab,akan tetapi sebab belum tentu 'illat.

Syarat–Syarat illat
Ulama us}ul al-fiqh memberi batasan atau syarat bagi 'illat untuk dapat dijadikan alasan bagi terciptanya suatu hukum. Terdapat dua puluh empat (24) syarat yang ditetapkan oleh Ulama us}ul. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan menjelaskan syarat-syarat pokok yang disepakati oleh Ulama. Diantara syarat 'illat antara lain:
1. 'illat merupakan sifat yang bersesuaian untuk ditetapkannya suatu hukum. (an takuna al-'illat was}fan munasiban li al-hukm), dalam arti bahwa seorang mujtahid harus mempunyai dugaan kuat bahwa sutu hukum dapat ditetapkan oleh 'illat tersebut. Pada umumnya, dugaan yang kuat itu harus didasarkan kepada hikmat al-tashri', yaitu mendatangkan maslahah, atau manfaat,dan menolak mafsadah atau bahaya.
2. 'illat itu jelas adanya (an takuna al-'illat z}ahirah jaliyah), dalam arti 'illat bisa ditangkap oleh panca indra manusia, karena 'illat merupakan petanda yang bisa dilihat dan disaksikan. Misalnya sifat memabukkan dalam khamr. Maka bila 'illat bersifat batin (khafi) tidak bisa dijadikan alasan hukum, karena hal yang bersifat batin sulit untuk diterka dan dilihat. Oleh karena itu, kerelaan (ridha) dalam jual beli tidak bisa dilihat, karena ridha merupakan perkara batin, untuk itu, ahli fikih mengharuskan adanya ijab-qabul sebagai wujud nyata.
3. 'Illat harus dapat terukur dan berlaku untuk semua orang (an takuna al-'illat wasfan mund}abit}an), seingga tidak tercampur dengan yang lainnya. Misalnya pembunuhan menjadi 'illat bagi terhalangnya waris seseorang yang dibunuh, 'illat ini juga bisa dipakai dalam kasus wasiat yang sama, atau khamr dilarang karena 'illat memabukkan, maka 'illat memabukkan dapat diterapkan pada selain khamr yang memiliki kemampuan memabukkan.
4. 'illat harus memiliki daya jangkau (muta'addiyah). Maksudnya, disamping terdapat pada as}l, 'illat juga dapat ditemukan pada tempat lain. Seperti 'illat menyakiti pada perkataan "uf" ("ah") kepada kedua orang tua yang haram hukumnya, 'illat seperti ini dapat ditemukan pula pada ucapan ataupun perbuatan yang sejenis yang katagorinya sama-sama menyakiti orang tua (menghardik dan memaki atau bahkan memukul), untuk menetapkan hukum haramnya perbuatan tersebut .

E. Ijtihad Tat}biqi
Sebagaimana diketahui bahwa ijtihad menurut ulama us}ul adalah diartikan sebagai upaya mengerahkan kesungguhan dan mencurahkan segala usaha, baik dalam meng-istinbat}-kan hukum shar'i dalam menerapkannya (tat}biq). pengertian ini mempunyai arti bahwa adakalanya ijtihad tersebut dikhususkan pada istinbat hukum dan penjelasannya, dan adakalanya dikhususkan dalam penerapannya.
Ijtihad yang pertama dikhususkan pada segolongan ulama yang melakukan upaya untuk mengetahui hukum-hukum furu' 'amali dari dalil-dalil yang terperinci. Sebagian ulama berpendapat bahwa ijtihad dalam kategori ini dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja, sehingga bisa jadi ijtihad ini terputus atau terhenti pada suatu masa. Sebaliknya menurut ulama Hanabilah, bahwa bentuk ijtihad seperti ini tidak akan terhenti karena menurut mereka pada setiap zaman pasti terdapat seseorang yang berkualifikasi sebagai mujtahid .
Sementara itu, ijtihad dalam bentuk kedua (tat}biq), menurut kesepakatan seluruh ulama tidak akan terhenti dan ada di setiap zaman. Mereka dalam kelompok ini adalah ulama yang melakukan takhrij atas pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan yag melakukan penerapan terhadap 'illat-'illat atau hukum yang telah di-istinbat}-kan oleh para ulama terdahulu. Dengan penerapan ini dapat diketahui hukum-hukum mengenai berbagai persoalan yang belum dikenal oleh para ulama sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Us}ul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, tt.
Afif, Abdul Wahab. Fiqh (Hukum Islam) antara Pemikiran Teoritis dengan Praktis. Bandung: Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1991.
Aibak, Kutbuddin. Penalaran Ta'lili Dalam Hukum Islam, dalam Jurnal ISLAMICA, Vol. I. Surabaya: PPS IAIN Sunan Ampel, 2006.
Al-'Ajuz, Ibrahim. Al-Ih}kam fy Us}ul al-Ah}kam, juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Do'I, Abdurrahman I. Shari'ah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Al-Jaizani, Muhammad Ibn Husayn Ibn H}asan. Ma'alim Us}ul al-fiqh: 'Inda ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Riyad}: Dar al-Jauzi, 1998.
Ghozin, Nasuha, A. Epistimologi Kitab Kuning. Jakarta: P3M, 1989.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, I, cet ke II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hibben, John Grier. Logic; Deductive and Inductive. New York: Charles Scribner's Sons, 1905.
Khallaf, Abd al-Wahhab. 'Ilm Us}ul al-Fiqh. Kairo: Maktabat al-Da'wat al-Islamiyyah, tt.
Maktabah al-Shamilah (CD). Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal. Juz 1.Bab Ahl al-furu'.
Mubarrak, Jaih. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2002.
Mun'im, 'Abdul. Fiqh Dan Nalar Induktif Kajian Atas Qawa'id Al-Fiqhiyah Dalam Perspektif Induksi. Desertasi program pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007.
Al-Nadawi, Ali Ah}mad. al-Qawaid al-Fiqhiyah; Mafhumuha, Nash'atuha, Tat}awwaruha. Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas -LPPM Universitas Islam Bandung, 1995.
Al-Qur'an.
Al-Sabki, 'Aly bin Abd al-Kafi. Al-Ibhaj fy Sharh} al-Manhaj. Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1995.
S}ah}ih} Muslim, hadis no. 3733. Dalam CD al-Mawsu'ah al-H}adith al-Sharif.
Shalih}, Muhammad Adib. Tafsir al-Nus}us} fy al-Fiqh al-Islamy. Juz 1. Damaskus: Jami'ah Damaskus, 1984.
Al-Shat}ibi, Abu Ish}aq. al-Muwaffaqat fy us}ul al-Shari'ah, Jilid 2. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1999.
Soekardijo, R.G. Logika Dasar; Tradisional, simbolik dan induktif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Yusdani, Amir Muallim. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2004.
--------------, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999.
Al-Zuhayli, Wahbah. Us}ul Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003.

Tidak ada komentar: